Catatan Lydia

Catatan Lydia
Blog ini didedikasikan untuk anak-anakku tercinta, Abhi Sachi dan Samy yang mewarnai hidupku dengan kebahagiaan. Tulisan-tulisan di blog ini menjadi saksi, betapa berartinya kalian untuk mama. Kelak ketika kalian besar nanti, memori indah yang tertulis di blog ini akan selalu kita kenang bersama. I love U Nak..


Kamis, Februari 04, 2021

Kisah Si Burung Gagak

Ini kisah lama. Kisahnya sederhana saja namun nyata terjadi, pengalaman sendiri. Ketika manusia mencoba melakukan pembenaran terhadap sesuatu yang kurang tepat, lantas menyuarakan berbagai dalih dan alasan. Kali ini, aku kena batunya. Diingatkan langsung saat itu juga.

------

Hari itu jadwalku padat. Pagi hari dimulai mengantar Samy ke Hoikuen, kemudian ada beberapa kelas perkuliahan, dimulai pukul 9 pagi dan direncanakan selesai pukul 14.30. Lanjut sore pukul 15.00 menjemput Sachi dari Youchien, membawanya ke apartemen, menanti Kakak Abhi pulang dari Gakudo, lalu kembali menjemput Samy, memasak makan malam dan menanti suami pulang. Pagi itu aku tak sarapan. Sejak kecil hampir tak pernah sarapan, ditambah lagi terlalu banyak hal yang perlu diselesaikan emak tiga anak, dua di antaranya balita, sejak pagi menyingsing. Waktu dan pikiran tersita dengan task-task yang harus aku jalani setiap harinya. Sarapan tak lagi terpikirkan, apalagi perut juga belum demo minta diisi. Resiko seorang mamasiswi di negeri orang.

Setelah berbagai aktivitas perkuliahan dan diskusi dengan Para Sensei serta teman-teman sekelas, lagi-lagi aku melewatkan jam makan siang. Kupikir tak masalah menundanya, toh aku bisa makan di rumah setelah menjemput Sachi pukul 15.00. Waktu menunjukkan pukul 14.30, kelas selesai. Tersisa 30 menit saja untuk bisa tiba di sekolah Sachi. Kupercepat langkahku setengah berlari menuju stasiun Demachiyanagi. Aku tak ingin Sachi dan Sensei menungguku di sekolah. Bukan budayanya pula untuk terlambat disini, termasuk menjemput anak sekolah. Pukul 14.40 tiba di stasiun Demachiyanagi, kereta sudah menanti. Enaknya disini jadwal kereta selalu tepat waktu. Tak akan meleset walau 1 menit. Sehingga urusan perjalanan sangat bisa diestimasi dan direncanakan. Kereta berangkat dan tiba tepat waktu di stasiun Ichijoji pukul 14.50. Tersisa 10 menit untuk berjalan kaki dari stasiun Ichijoji menuju sekolah Sachi. Panas. Jauh. Aku kembali berlari-lari kecil. Perut mulai keroncongan, cacing di sana mulai berontak karena belum diisi sedari pagi. Alhamdulillah tepat waktu menjemput Sachi. Di Jepang aku selalu merasa berkejaran dengan waktu. Rasanya detik demi detik berlangsung sangat cepat. Saya selalu merasa kekurangan waktu.

Sachi tengah bermain di playground outdoor sekolah, ketika ia melihatku tiba. Tersenyum ia, lantas setengah berlari ke arahku. Hayyyuuu sayang, kemonn kita pulang. Kami berjalan santai berdua, menuju stasiun Ichijoji kembali. Menunggu kereta tiba, naik kemudian turun di stasiun selanjutnya, stasiun Shugakuin. Waktu menunjukkan jam 15.30 ketika kami tiba di stasiun Shugakuin. Apartemen kami sendiri bisa dibilang hampir berseberangan dengan stasiun ini. Sangat dekat, beda beberapa bangunan saja. Ah, masih ada 1 jam 30 menit sebelum menjemput Samy di sekolah. Lumayan bisa mampir dulu, batinku. Tepat di samping stasiun Shugakuin terdapat supermarket Fresco. Aku mengajak Sachi mampir sebentar untuk membeli jajanan pengganjal dan sayur buat dimasak makan malam nanti. Tiba di counter jajanan, cacing berteriak. Aku lantas membeli 2 buah risol kentang sayur, satu untukku dan satu untuk Sachi. Keluar dari Fresco, kami bergandengan menyeberang jalan. Setibanya di ujung jalan, eh kok lemes ya. Laparrr sangat rasanya. Aku lantas mengeluarkan risol yang tadi kubeli. Makan ah, sambil jalan menuju apartemen. Bukankah namanya dua tiga pulau terlampaui. Perut terganjal, sampe rumah bisa lanjut melakukan aktivitas lain. Cerdas kan hahaha.

Kresek.. kresek.. Aku membuka plastik jajanan. Mengambil sepotong risol untukku dan memberikan satu lagi untuk Sachi.

Sachi: “Sachi nanti saja mah, di rumah. Tadi udah makan snack di sekolah.” 

Mama: “Oke. Mama simpan lagi ya punya Sachi.”

Kumasukkan risol Sachi ke plastik. Tangan kiriku membawa belanjaan sambil menggenggam tangan Sachi, tangan kananku memegang risol nikmat tadi. Namanya juga lapar, semua terasa maknyuss. Enyaak. Sachi terlihat  menatapku yang sibuk mengunyah makanan.

Sachi: “Eh Mama, bukannya makan sambil berdiri itu tidak baik ya Ma?” penasaran ia menanti jawabku. Sebentar aku tertegun, mendengarnya mengingatkan. Biasanya itu bagianku.

Mama: “Iya sih Chi, memang bener Sachi. Sebaiknya makan jangan sambil berdiri. Tapi gapapa lah ya, Chi. Sekali-kali. Mama belum makan dari pagi. Laper bangettt Mama, Chi.”

Sachi: “Itu rumah kita udah dekat Ma.” Iya juga, memang sejengkal lagi kami tiba di apartemen. Tapi siapa yang bisa menahan godaan risol gede seukuran telapak tangan dan tampak sangat nikmat ini di tengah demo para cacing di perut.

Mama: “Hehe laperrr.” Si Mama nan ngeyel lanjut menguyah sambil jalan.


Tak lama kemudian.

Kwaaak.. kwaaaak.. kwaaaak.. Seekor burung gagak hitam tiba tiba muncul begitu saja dengan sangat cepat di hadapan kami, entah darimana datangnya. Secepat kilat si gagak menyambar risol yang hampir masuk ke mulutku. Persis di depan wajahku. Aku kaget dan reflek berteriak menjerit. Mundur beberapa langkah. Nasib di risol kini sudah berpindah. Sebagian dibawa si Gagak terbang tinggi, sebagian lagi jatuh ke aspal.

Sachi: “Nah kan Mama. Dibilangin juga apa. Makan jangan sambil jalan.” Sachi tertawa.

Mama: “Iya ya Chi. Jadi aja ditegur sama Allah lewat burung Gagak ya. Boro-boro kenyang, hilang deh sekarang jatah mama. Maapin ya ga dengerin Sachi tadi.”

Sachi: “Mama makan punya Sachi aja. Masih ada satu kan.” 

Ahhh peluk anak baik mama.

Si gagak hitam datang begitu saja, di luar dugaanku. Pembenaranku memakan makanan tidak pada tempatnya hari ini, diingatkan langsung lewat si Burung Gagak. Heiii bukankah aku sudah melakukan banyak hal sedari pagi, aku bahkan melewatkan kebutuhan pribadiku demi menjalankan semuanya. Sekadar makan sepotong saja tentu tak mengapa bukan. Begitu kurang lebih pembenaranku. Apakah ini teguran langsung dariNya terhadap hamba yang luput mendengarkan. Wallahualam. Hadits untuk tidak makan dan minum sambil berdiri, berbeda pendapat ulama menyikapinya. Yang jelas kuakui, malu rasanya telah bersikap dan mencontohkan yang kurang tepat di depan anakku hari itu.

Cerita ini membekas, terutama bagi anak-anak. Kini ketika kami abai, tak mengindahkan hal benar yang sudah diingatkan maka kisah ini kembali bergulir. Anak-anak tertawa, mentertawakan kelakuan emaknya. Namun yang lebih penting, dengan cepat anak-anak kemudian belajar bagaimana mendengarkan. Dan tentu aku sebagai objek cerita, lalu tersipu.

Ah Gagak.. kenapa harus aku sih. Kan lapeer aku tuh hahaha.

Ampunn Gagak.. gak lagi-lagi deh.

 

Kyoto, 2014. Suatu hari di depan stasiun Shugakuin.