Catatan Lydia

Catatan Lydia
Blog ini didedikasikan untuk anak-anakku tercinta, Abhi Sachi dan Samy yang mewarnai hidupku dengan kebahagiaan. Tulisan-tulisan di blog ini menjadi saksi, betapa berartinya kalian untuk mama. Kelak ketika kalian besar nanti, memori indah yang tertulis di blog ini akan selalu kita kenang bersama. I love U Nak..


Rabu, Mei 25, 2011

Lagu untuk Mama

Sebuah surat kuambil dari tas sekolah Abhi. Aku tersenyum memandangi surat itu, surat pemberitahuan dari sekolah kakak. Minggu depan, 21 Mei 2011 akan diadakan sebuah Pentas Seni. Seluruh anak akan menampilkan sebuah tarian secara berkelompok. Kakak akan bergabung dalam kelompok playgroup besar untuk membawakan tarian Brazil, lengkap dengan kostum bola brazil dan celana jeans. Di kepalaku terbayang beberapa acara serupa, parents day, ulang tahun sahabat, dan beberapa  momen lainnya yang aku dan suami hadiri dan berakhir dengan penolakan Abhi untuk tampil alias Gagal Total.

It won’t work, gumamku dalam hati. Sudah beribu bujuk rayu, berbagai jurus dikeluarkan demi memberanikan kakak tampil seperti anak-anak lainnya, namun kenyataannya berakhir dengan deraian air mata kakak Abhi yang bersikukuh menolak bergabung bersama teman-temannya unjuk kebolehan di depan orang tua masing-masing.

Dalam renungku teringat kembali nasihat dari psikolog sekolah kakak, Bu Farah bahwa setiap anak punya karakter masing-masing. Bahwa anak seperti Abhi tidak perlu ada paksaan terhadapnya untuk melakukan sesuatu yang tidak membuatnya nyaman. Tidak ada masalah dengan karakter kakak, ia hanya perlu waktu lebih lama dibanding anak lainnya untuk melakukan sesuatu yang baru, sesuatu di luar kenyamanannya. Pancing kemudian motivasi, seandainya tidak berhasil maka biarkan dia memilih yang ia sukai. Yah memang praktiknya tidak segampang teori tapi tidak ada salahnya untuk terus dicoba, dan kali ini tidak boleh ada target karena nyatanya hanya membebani kakak dan aku sendiri, dengan ekspektasi berlebih.

Kilas balik dari besarnya harapanku padanya sebenarnya kembali kepada karakterku sendiri. Aku adalah tipikal orang yang sangat tertutup, aku hanya  terbuka dan banyak bicara pada segelintir orang saja. Tidak nyaman dalam suasana ramai. Atau dalam bahasaku saat tengah bercanda dengan suamiku kerap kusebut karakterku ini sebagai “asosial” hehehe.  Yah tapi begitulah adanya dan begitulah kenyataannya. Sulit sekali merubahnya. Karenanya aku tidak ingin anakku merasakan ketidaknyaman seperti halnya aku.

Aneh memang, terkadang aku berfikir, seharusnya akulah orang yang paling mengerti apa yang anakku rasakan. Tapi karena ekspektasiku yang besar, sering kali sebagai orang tua aku lupa, lalai bahwa aku hanya perlu membimbingnya, mengarahkannya, bukan memaksanya menjadi bentuk yang kuinginkan. Bukankah kakak Abhi masih kecil, pembentukan karakternya masih panjang, aku tidak berhak menciptakan label negatif padanya, entah itu pemalu, manja, susah diatur dan berbagai label yang kerap orang tua tempelkan pada anaknya. Karena sesungguhnya label-label itu seolah menjadi vonis tanpa dasar yang malah menggiring anak tumbuh dengan karakter sesuai label yang kita tempelkan.

***

Setiap pagi, sambil membantu kakak mandi, aku menyelipkan perbincangan mengenai pentas seni sekolah. Jauh-jauh hari hal ini perlu agar kakak lebih siap dan paham bahwa akan ada acara itu, seperti saran bu Farah padaku.

“Wah sebentar lagi hari sabtu. Disekolah kakak ada pentas seni ya, kira-kira kakak mau nyanyi ato nari kak?” ujarku sambil menyiramkan segayung air di tubuhnya.
“Ga mau ah. Kenapa aku harus nyanyi ma. Aku kan malu ma, pokoknya aku ga mau ikut,” kakak langsung cemberut mendengarnya.
“Ya sudah kalau kakak belum mau ga apa-apa. Mungkin nanti kapan-kapan ya kak, suatu hari kakak pasti bisa. Mama pengen banget lho denger kakak nyanyi. Kira-kira kapan ya kakak nyanyiin mama lagu. Mama pasti senaaaaang banget deh kak.”
“Nanti kalo aku sudah besar ya ma. Kalau kakiku sudah panjang kayak papa.”
“Bener ya kak, mama tunggu ah. Mama pengen denger kakak nyanyi.”

Kakak tersenyum simpul. Aku tersenyum menatapnya. Jujur aku sedikit lega karena pembicaraan hari ini tidak berakhir dengan ketidaknyamanan kakak lagi. Hanya sepertinya aku tidak bisa berharap banyak bahwa pentas seni kali ini akan berhasil membuat kakak tampil :D

***

Aku sibuk membaca buku komunikasi sekolah kakak. “Waah hari ini kakak latihan menari ya. Kakak mau nari apa kak?”
“Aku ga mau nari. Pokoknya aku ga mau” ia manyun lagi mendengarnya.
“Disini ditulis mau nari brazil ya kak. Hmm pasti kalo kakak nari bagus banget. Duuuh mama pengen liat. Kaya gimana kak tariannya, ajarin mama dong”
Raut wajahnya berubah. “Mmm mama mau liat aku ya. Kalo gitu aku mau nyanyi aja ma. Aku mau nyanyiin lagu untuk mama.”
“Bener kak? Asiiik. Mama seneng banget. Ah mama besok mau nonton kakak, pasti hebat. Neng juga mau liat katanya. Boleh ya kak.”
“Iya boleh, Mama Papa sama neng boleh nonton nanti.”

Sedikit ragu di wajah kakak sore itu, sepertinya ia tengah bergulat dengan egonya antara tidak mau menyanyi dengan keinginannya menyenangkan mama papanya.

***

Pagi ini kakak bangun dengan tidak bersemangat. Dengan malas ia menggeliat di atas sofa.

“Kakak ayo mandi. Hari ini kan pentas seni, kakak mau nari nanti.”
“Aku ga mau nari. Kenapa aku harus nari.”
“Ya udah. Yang penting mandi dulu aja. Yuk sini mama bantu.”

Hingga pukul 9 pagi kami tiba di sekolah kakak, smart step. Ajaib, ia melangkah dengan gembira memasuki kelas dan langsung bergabung bersama teman-temannya. Biasanya kakak memilih nempel bersama papanya dan tidak mau latihan bersama teman. Langkah pertama, lancar jaya. Alhamdulillah

Karena kakak sudah berlatih bersama temannya, aku, papa dan sachi menempati kursi di depan panggung. Terbaca olehku bahwa agenda pagi itu akan dibuka oleh pembacaan doa dari anak-anak ekskul mengaji. Wah itu artinya kakak sebentar lagi tampil. Mau ga ya dia, aku berharap-harap cemas.

“Ya.. inilah dia pembacaan doa oleh anak-anak ekskul mengaji” suara MC terdengar lantang.
“Pah.. anak-anak udah pada naik ke panggung. Kakak mana ya, kok ga keliatan.”

Celingak celinguk aku dan papa mencari kakak. Rupanya ia menjadi anak terakhir yang naik ke atas panggung. Surprise sekali, kakak mau naik panggung euy dan berdiri di baris paling depan, persis di depan microphone.

Doa orang tua pun dilantunkan anak-anak, kulihat kakak mengikuti doa dengan bergumam saja. Tak apa, itu sudah merupakan perjuangan baginya. Tapi coba lihat… ditengah-tengah doa, kakak mulai mendekatkan mulutnya ke microphone didepannya. Suaranya terdengar lantang. Horeeeee Alhamdulillah aku senang sekali. Aku dan papanya melambaikan tangan, memberikan jempol padanya sebagai tanda kami bangga atas keberaniannya kali ini. Kakak tersenyum bangga. Ia membalas lambaian kami dengan bersemangat, saking semangatnya sampai-sampai kakak tidak mau turun panggung saat doa selesai dilantunkan dan semau temannya turun dari panggung. Kakak malah sibuk melambaikan tangannya pada kami sampai-sampai gurunya turun tangan menuntun kakak agar turun. Hohoho.. good job kakak.

Begitulah kejutan itu. Selanjutnya saat sesi menyanyi oleh anak-anak daycare, kakak kembali tampil. Lancar, ia menyanyi dengan riang, sesekali rebutan microphone dengan teman-temannya. Ah satu lagi kegembiraanku hari ini.

Kejutan selanjutnya datang di sesi tarian oleh anak-anak playgroup. Kakak menarikan tarian brazil dengan baju bola kesukaannya. Kali ini ia berdiri di belakang. Senyum tak lepas dari wajahnya, badannya bergerak mengikuti irama lagu. Celingak celinguk dari atas panggung ia mencari aku dan papanya disela para penonton. Kami menberinya acungan jempol, ia tampak sangat bersemangat sekali.

Puas sudah aku dan papanya hari ini. Senang sekali kakak akhirnya berani tampil. Sungguh di luar dugaanku lancarnya acara hari ini. Sesaat sebelum pulang, ada pengumuman dari sekolah.

“Bapak-bapak Ibu-ibu, sebelum pentas seni hari ini, kami sudah mengadakan pra-pentas senii di sekolah. Setiap anak dari katerogi PG hingga TK masing-masing mengikuti lomba. Sekarang adalah waktunya pengumuman lomba prapensi. Mulai dari PG Kecil…” suara MC terdengar menyebutkan pemenang-pemenang lomba.

Aku, Papa, Abhi dan Sachi asik bergurau di bangku penonton, sambil menemani kakak bermain gelembung sabun tatkala terdengar lagi suara MC memanggil.

“Dan juara dua untuk lomba menyanyi Playgroup Besar adalaaaaaaah….. AAAA…. AAA siapa bu…. AAAABHIIIIII..”

Haaaaah aku bengong tak percaya. Segera aku towel papanya. “Pah itu yang dipanggil menang lomba nyanyi siapa ya.. Abhi.. Abhiet Alief ato siapa ya? Aku dengernya Abhi, salah ga tuh?”

Rupanya papa juga tidak mendengarkan dengan jelas. Kami diam, mencoba mendengarkan lagi suara MC.

"Juara dua lomba menyanyi diraih oleh Abhiiiiii" teriak MC mengulangi kembali pengumumannya.
“Ayoo Abhi.. kesini kepanggung nak. Ajak Mama dan Papanya” tampak para guru memanggil Abhi, melambaikan tangan pada kami.

Huwaaaaaaaaaaaaa… Surpriseee. Mataku berkaca-kaca, haru. Kakak melangkah maju kepanggung, mengajak papa turut serta dibelakangnya. Aku yang sedari tadi menggendong sachi memandanginya dari depan panggung.

“Abhi mau nyanyi ga sayang? Katanya Abhi mau nyanyi buat mama ya” gurunya bertanya dijawab dengan  anggukan dan senyuman Abhi. "Mau nyanyi apa?"
"Kereta api” ujarnya malu-malu.

Dan tak lama ia langsung meraih microphone, memegangnya dengan tangan mungilnya. Bernyanyi dengan bersemangat di depan panggung, sendiri tanpa canggung didampingi guru dan papanya dari belakang. Selesai menyanyi dengan bangga buah hatiku menerima kado dari Ibu Nita, lalu turun dari panggung dan lantas menghampiriku sambil membawa kado ditangan. Ia serahkan padaku kadonya, kusambut dengan ciuman hangat. "Terima kasih Nak, mama bangga padamu," bisikku di telinganya. Senang ia menatapku. Senyumnya mengembang, menjawab semuanya isi hatinya saat itu. Alhamdulillah.

Mungkin bagi sebagian orang adalah hal yang biasa ketika putra putrinya berani tampil di muka umum. Tapi tidak demikian denganku karena aku hapal sekali karakter anakku. Dan hari ini di pentas seni sekolah adalah penampilan perdananya, ia menyanyikan lagu untukku sekaligus yang terpenting mampu mengalahkan ketakutan dan egonya.

Hari ini kami melangkah pulang dengan riang. Bahwa sesungguhnya ketakutan itu belum pasti nyata, maka pandanglah semua dengan optimis, berusahalah dan yakini bahwa segala sesuatu akan baik-baik saja, bahkan terkadang melebihi harapan. Yang terpenting, jangan biarkan anak-anak kita yang cerdas-cerdas ini tumbuh dalam ketakutan dan ekspektasi berlebih, dalam vonis dan label tak berdasar dari orang tua dan lingkungannya. Karena setiap anak berhak tumbuh dengan bahagia.

Pensi Smart Step 21 Mei 2011
Untuk Kakak Abhi tersayang
Always proud of u dear
*semoga semua anak di dunia ini bahagia*