Catatan Lydia

Catatan Lydia
Blog ini didedikasikan untuk anak-anakku tercinta, Abhi Sachi dan Samy yang mewarnai hidupku dengan kebahagiaan. Tulisan-tulisan di blog ini menjadi saksi, betapa berartinya kalian untuk mama. Kelak ketika kalian besar nanti, memori indah yang tertulis di blog ini akan selalu kita kenang bersama. I love U Nak..


Jumat, Agustus 07, 2015

Ibu ASI dan Postingan Dzolim

Coba sebut konflik yang melibatkan kaum hawa? Banyak bukan. Mulai dari ibu bekerja vs ibu rumah tangga, ibu asi vs ibu non asi, partus normal vs sectio dan minggu ini sedang ramai celebration of breastfeeding day vs no celebration. Lantas mengapa perseteruan yang tiada akhir ini muncul?

Mari bercerita dari sudut pandang saya. Saya ibu asi, ibu bekerja, ibu melahirkan normal dan ibu yang tidak merayakan breastfeeding day, lebih karena tidak tahu sih sebenernya huehehe. Eh tapi walau tahu juga saya rayakan dalam hati saja deh, hehehe ga jelasss ;) Saya ini termasuk ibu yang turut bergembira ria melihat postingan asi satu kulkas, melihat sertifikat asi dipajang dan berbagai status per asi an lainnya dari teman teman di media sosial. Saya pun termasuk golongan pemajang sertifikat asi dari ketiga anak saya. 

Tidak sedikit argumen bahwa postingan seperti ini 'dzolim' atau 'tiada manfaat'. Sulit memang berhusnudzon ria, terlebih pada posisi yang berseberangan dengan pilihan kita. Namun bagi saya, sungguh tidak ada niat takabur ataupun mendzolimi ibu ibu yang belum berhasil memberikan asi. Postingan itu justru memuat banyak hal yang ingin dibagikan, perjuangan, air mata, keluh kesah yang berbuah kegembiraan, hingga niat memotivasi adalah beberapa di antaranya. 

Sedikit kilas balik 9 tahun yang lalu, dimasa kehamilan pertama saya, dimana asi belum mendapat tempat seperti sekarang. Posisi sungguh berbalik. Kuatnya image susu formula  dan ketiadaan pengalaman dan pengetahuan yang cukup saat itu membuat perjuangan ber asi ria tidak mudah, dukungan keluarga minim, teman berbagi yang paham asi pun bisa dihitung dengan jari, dan terlebih saya bukan perempuan yang dianugerahi produksi asi berlebih. Setetes demi setetes saya belajar memerah asi. 10 ml, 20 ml, 30 ml, 50 dan seterusnya sampai saat itu produksi maksimal saya hanya 100 ml setiap kali memerah. Kejar setoran untuk kebutuhan harian Abhi saat itu. Tekanan akan kecukupan, hygienitas dan kualitas asi datang bertubi tubi. Air mata dan putus asa jangan ditanya seringnya tumpah. Saat harus kembali bekerja, sounding ke lingkungan kantor pun tak mudah. Menjadi satu satunya ibu yang memerah asi, berdiri di sudut tempat wudhu karena ketiadaan ruang pompa, mendapat tatapan aneh rekan rekan sekerja, keluarga dan tetangga, mendapat pertanyaan dan pernyataan yang sering memojokkan pun adalah hal lumrah. Dan saya saat itu belajar dengan cepat bahwa ketika memutuskan menjadi ibu asi maka saya harus bermental baja, menutup telinga dari segala komentar buruk, menutup mata dari segala pandangan sinis. Dengan tanpa malu meninggalkan rapat ketika waktu memompa tiba, masuk ke ruangan pak bos hanya untuk menitipkan asi di kulkas beliau, biasanya sih dikasih bonus ledekan sama si bos ;) nekad masuk pantry hotel demi hunting kulkas ketika meeting, blusukan cari ruang bersih untuk memompa di tempat tempat umum dan seterusnya. Hal yang kini mungkin cukup lumrah dan mudah tetapi di masa itu sungguh sungguh langka dan nampak aneh. Terkadang saya perlu extra menjelaskan sebelum mendapat izin. Terkadang ngotot walau tak sampai adu otot. Haduuh palembang banget sayaaah. Yaah intinya persis seperti tekanan ibu sufor saat ini bila berhadapan dengan ibu asi ^_^

Di masa inilah postingan 'dzolim' itu sangat bermanfaat bagi saya sendiri. Menatap pajangan stok susu, melihat kembali sertifikat itu, saya tahu harus terus bertahan hingga waktu menyapih tiba. Saya belajar mengapresiasi usaha saya, tanpa mengecilkan dukungan dari pihak lain tentunya, dari perolehan 10 ml hingga 250 ml, dari tangis jadi manis. Melihat success story ibu asi dengan perjuangan luar biasa disertai pajangan stoknya selalu menjadi motivasi saya berjuang saat itu. Pajangan 'dzolim' itu pula yang salah satunya membuat asi menjadi lumrah, diterima dan lambat laun semakin populer hingga saat ini. 

Maka, mari husnudzon saja melihat postingan itu karena di dalamnya memuat banyak kisah baik. As simple as that. Bila anda tidak termotivasi, mungkin ada ibu ibu di sana yang tergerak hatinya untuk lebih berusaha lagi ber asi ria. Ada bayi bayi yang terselamatkan ketika orangtuanya tak mampu membeli sufor. Saya pun akan berusaha menjaga husnudzon saya terhadap rekan, sahabat bahkan saudara saya yang belum mendapat kemudahan ber asi ria. Maafkan bila perhatian dan nasehat kami ibu asi ini nampak menjadi 'tekanan', 'paksaan' atau 'dorongan' berlebihan. Mari berhusnudzon bahwa itu hanya bentuk penyampaian saja yang tidak tepat. Singkirkan kesan merasa divonis, digurui, ambil ibrohnya untuk memperbaiki usaha selama ini.

Kepada ibu ibu pejuang asi, saya paham sepaham-pahamnya mengapa sebagian besar di antara kita ngotot. Karena kengototan inilah yang berbuah manis, yang membuat kita berhasil menyusui buah hati kita. Lepas dari beberapa ibu yang dianugerahi asi berlimpah, banyak pejuang asi yang harus tertatih dan berdarah darah demi suksesnya asi. Ya, sebagian besar ditempa kengototannya melalui proses itu. Namun kenyataannya, kengototan tak cukup merangkul para ibu di luar sana. Maka, mari berhusnudzon saja bahwa mereka telah mengeluarkan segala upaya untuk bisa ber asi ria walau akhirnya gagal. Doakan semoga mereka sukses di kesempatan selanjutnya.

Jadi teringat curahan hati seorang sahabat, "Memangnya susu formula itu racun? Memangnya kalau saya tidak bisa kasih asi, saya tidak sayang anak saya gitu?" Tersenyum saya mendengarnya. Sabar ya teman, I do know those feelings. Sama seperti kekesalan saya dulu terhadap cap buruk asi dan superioritasnya formula, "Memangnya asi perah itu basi? Memangnya kalau saya kasih asi artinya saya ga sayang anak, ga kasih nutrisi terbaik dari formula dengan segambreng AHA, DHA, bla blanya itu?" Semoga kekesalan, kemarahan menjadi energi lebih untuk berjuang memberi asi di kesempatan berikutnya. Semoga sifat husnudzon selalu menyertai kita semua. Amiin.

-dari yang masih belajar husnudzon-