Catatan Lydia

Catatan Lydia
Blog ini didedikasikan untuk anak-anakku tercinta, Abhi Sachi dan Samy yang mewarnai hidupku dengan kebahagiaan. Tulisan-tulisan di blog ini menjadi saksi, betapa berartinya kalian untuk mama. Kelak ketika kalian besar nanti, memori indah yang tertulis di blog ini akan selalu kita kenang bersama. I love U Nak..


Jumat, Juli 16, 2010

Welcome My Little Sakura

Tepat di minggu ke 40, akhirnya tanda-tanda persalinan yang lama dinanti itu mulai datang. Setelah seharian menyengaja berjalan-jalan nonstop selama 4 jam, dilanjutkan dengan berjalan jongkok ala ospek dulu beberapa jam mengelilingi setiap sudut ruang di rumah, selasa malam kontraksi itu datang. Kalender menunjukkan tanggal 15 Juni 2010 pukul 7.15 malam ketika pertama kontraksi datang, rasanya masih tidak terlalu nyeri dengan durasi 30 detik dan berulang setiap 15 menit. Pukul 11 malam kontraksi mulai teratur setiap 10 menit. Ibuku sudah mengingatkan bahwa kelahiran kedua, kontraksi setiap 10 menit sudah sangat dekat dengan kelahiran. Berbeda dulu dengan kelahiran pertama, kontraksi setiap 5 menit saja, masih harus menunggu berjam-jam lamanya hingga tiba waktu lahiran. Malam itu nyeri sudah sangat sakit terasa. Dalam hening, rasa sakit harus kuredam, meringis meringkuk diperaduan, bermaksud menunggu subuh tiba untuk menuju rumah sakit, agar pagi menjelang dengan terang, agar suamiku bisa beristirahat dulu malam itu. Detik demi detik berlalu terasa begitu lambatnya. Rasa nyeri yang mengiringi kontraksi mulai tak tertahankan, pukul 4 selepas shalat aku membangunkan suamiku. Mulailah kesibukan di subuh hari. Disini, apabila diluar jam kerja maka setiap calon pasien diharuskan menghubungi rumah sakit terlebih dahulu sebelum datang. Dengan bantuan beberapa rekan suami yang fasih bernihonggo ria, akhirnya perawat di rumah sakit menyatakan kami dapat segera berangkat mengingat waktu persalinan sudah dekat.

Subuh itu aku nekad berjalan kaki menuju rumah sakit didampingi suamiku. Suamiku bertanya dengan cemas, “mama yakin mau jalan kaki saja. Apa tidak sebaiknya naik taksi?”. Thanks dear ,tapi berjalan di tengan kontraksi akan mempercepat kelahiran adik dan semoga aku masih kuat menahan sakitnya kontraksi ini. Jarak rumah sakit yang biasanya kami tempuh dengan 10 menit berjalan kaki, kali ini menjadi 30 menit. Maklum saja sepanjang jalan ketika kontraksi hadir, kami menepikan diri dipinggir kalan, berhenti beberapa kali menunggu hingga kontraksi mereda. Berjalan lagi, berhenti lagi. Begitu seterusnya hingga akhirnya tiba juga dirumah sakit pukul 5 subuh.

Sesampainya di rumah sakit, kami langsung menuju lantai 5. Disana bidan jaga langsung menghampiri kami dan menuntunku ke ruang persalinan. Hiroko Yobuki nama bidan itu. Oh ya.. karena bahasa yg berbeda, kerap beliau berpikir keras tiap kali harus menjelaskan sesuatu padaku dan suami, hingga sering kali bahasa tarzan lah yang berbicara di antara kami. Setelah berganti baju bersalin, beliau melakukan periksa dalam. Woowww bukaan 8. Cepatnya.. sepertinya ini hasil kenekadan jalan kaki untuk kesini tadi. Perkiraan beliau, masih 2 jam lagi adik akan lahir. Dengan sabar ia menanyakan padaku, apakah aku ingin berada di meja persalinan atau berbaring di ruang berkasur empuk disampingnya. Ketika aku memilih ruang berkasur empuk itu, ia segera menuntunku. Begitu lembut dan sabarnya ia meringankan sakit kontraksiku saat itu. Menawariku ocha agar sedikit relaks pagi itu. Pun ia duduk bersimpuh disampingku, menemaniku melawan rasa nyeri. Diusapnya perutku, digosoknya punggungku, dituntunnya mengatur nafas setiap kontraksi hadir. Tak sampai 15 menit di ruang itu, beliau menuntunku kembali ke meja persalinan. Pertanda proses kelahiran segera tiba, lebih cepat dari perkiraan beliau. Mmm let's do it together adik bayii.. Papa juga menanti adik.. selalu setia menemani mama melewati detik-detik kelahiranmu, seperti juga kelahiran kakakmu dulu.

Pukul 5.50 Perawat menghubungi Sensei Saito yang akan membantu persalinanku. Pukul 5.55 Sensei datang. Hebattt... 5 menit saja dan sang dokter sudah hadir di rumah sakit ini, tepat disampingku. Peralatan bersalin mulai disiapkan. Pukul 6.00 bukaan lengkap 10, aku mulai dibimbing untuk mengejan. Oh ya.. saking sakitnya, aku kerap menjerit atau berteriak setiap kali mengejan. Bidan Yobuki mengeluarkan isyarat supaya aku bisa memelankan suaraku. Belakangan aku baru tau kalau di jepang, adalah kurang sopan apabila bersalin dengan suara kencang atau teriakan. Hihihi padahal siapa juga yang niat ya.. ga nahan euy.... Setelah 4 kali mengejan, akhirnya tepat 16 Juni 2010 06.10 JST terdengar tangisan bayi eaaa..eaaaa... eaaa... diiringi takbir papa yang sedari tadi mendampingiku, mengusap-usap kepalaku. Alhamdulillah ya Rabb. Bidan Yobuki kemudian berkata “kawaiiii”, alhamdulillah artinya anakku perempuan, dan ia pasti cantik seperti kata bidanku yang baik itu. Sehat, normal tak kurang suatu apa. Terima kasih ya Allah, Engkau Maha Baik, Engkau sebagaimana prasangka hambaMu.

Seiring lahirnya putri keduaku, rasa lega menyergapku. Tak kuhiraukan lagi sakit itu, pun tatkala sensei mulai bersiap melakukan prakarya jahit menjahitnya. Kupandangi bayiku yang merah. Perawat memberikannya padaku untuk inisiasi menyusu dini. Memang inisiasi disini tidak dilakukan dengan posisi bayi di perut ibu. Bayi langsung didekatkan didadaku. Sekali dua ia gagal meraih asiku, dan untuk ketiga kalinya.. happ.. bayiku berhasil juga mendapatkan asi pertama dari mamanya. Alhamdulillah. Setelah ia puas, kemudian perawat mengambilnya, bayiku kemudian diseka dari sisa darah, ditimbang dan diukur panjangnya. 3.296 kg dan 51 cm. Bayiku dibungkus kain hangat dan diletakkan dimeja penghangat persis disampingku. Sembari menunggu Sensei Saito selesai menjahitku, aku menatap wajah anakku. Begitu mungil dan begitu merah. Ah sayangku, lama kunanti dirimu. Lihat.. kini kau ada didepan mama.

Pukul 6.30 semua selesai. Adik dibiarkan berada dimeja penghangat itu, seolah ingin memuaskanku menatap wajah mungilnya. Kami bertiga, papa aku dan bayi diruang persalinan. Beristirahat sejenak sambil menunggu masa pemulihan dan masuk ke kamar persalinan. Sempat terjadi bleeding kembali selama masa itu. Sensei saito kembali dipanggil. Huhuhu aku masih harus merelakan diutak atik kembali, padahal nyeri belum lagi reda. Alhamdulillah semua bisa ditangani. Tak lama kulihat papa sibuk mengabadikan momen-momen kelahiran adik dengan kameranya, tatkala rasa letih menyergapku. Dan dalam legaku, pulas pun menghampiri tidurku. Terima kasih Allah atas semua kemudahan yang Engkau berikan. And.. welcome to the world, Sakura Aisha Sachiara. Nama yang papa mama berikan kepadamu. Semoga engkau secantik Sakura, sholehah dan cerdas seperti Aisha, selalu bahagia dan bersinar sepanjang hidup dan akhiratmu nanti seperti makna Sachiara. Amiin

Menanti Lahirnya Adik

Di akhir masa kehamilan keduaku, terasa berbeda dengan masa-masa disaat aku mengandung abhi dulu. Dulu hampir setiap hari dilewatkan dengan browsing berbagai artikel mengenai kehamilan, melahirkan dan menyusui, mengunjungi klinik laktasi sebagai bekal asi eksklusif perdanaku saat itu, ditambah perasaan deg-degan acap kali membayangkan proses melahirkan nanti, normalkah, sakitkah, bagaimana bayinya nanti, beribu pertanyaan berkecamuk kala itu. Kali ini di akhir masa kehamilan kulewati dengan santai, menikmati hari-hari sebagai ibu rumah tangga dirumah, bercengkerama bersama kakak abhi, membaca ulang koleksi artikel kehamilanku dulu. Rindu juga rasanya untuk hunting kelapa ijo, bubur kacang, ikut senam hamil sambil curhat bareng ibu-ibu berbadan dua lainnya dan yang dulu tak pernah dilewatkan tentu saja, apalagi kalau bukan… belanjaaaa. Ibu-ibu mana yang ga gatel cuci mata pernak-pernik bayi yang lucu-lucu itu siih. Ah ternyata hamil itu memang menyenangkan sekaligus merindukan juga ya...

Memasuki minggu ke 38, sesekali kontraksi ringan mulai kurasakan. Aku menduga waktu melahirkan sudah dekat, mengingat abhi dulu lahir persis di minggu ke 38. Apalagi dokter kandunganku saat kontrol terakhir mengingatkan bahwa adik mungkin akan lahir lebih cepat dari due date seharusnya. Tas siaga sudah disiapkan, tinggal berangkat bila waktunya tiba. Tunggu punya tunggu, minggu 38 berlalu dengan status masih di bukaan 1. Memasuki minggu 39, tanda-tanda persalinan tak juga datang. Hingga satu minggu berlalu, si adik masih betah didalam kandunganku. Minggu 39 berlalu dengan status masih juga di bukaan 1. Ah mungkin belum waktunya si adik lahir. Aku harusnya cukup tenang mengingat kondisi adik baik-baik saja, lagipula disini melahirkan diatas week 40 adalah hal yang biasa, dan dokter pun biasanya akan menunggu sampai tanda-tanda kelahiran terjadi dengan sendirinya, secara alami. Sementara di Indonesia, cukup banyak dokter yang akan menyarankan caesar begitu melewati minggu 40, bahkan tanpa indikasi resiko dalam kehamilan itu sendiri. Masih kuingat senyum di wajah Sensei Saito saat aku menanyakan kapan si adik bakal lahir. Rentetan pertanyaanku dijawab hanya dengan senyuman khas di wajahnya dan satu patah kata “as soon as possible.” Hihihi ya iyalah.. bukankah kelahiran sudah ada yang mengaturnya kenapa pula aku harus mendikteNya. Tertawa aku membayangkan kekonyolanku sendiri. Kekhawatiran yang tak berdasar.

Well, di akhir masa kehamilan ini aku perbanyak dengan berjalan kaki, kemana saja asalkan kaki dapat terus melangkah. Berharap kontraksi segera hadir. Tak lupa tentunya memanjatkan doa padaNya akan kesehatan janin dalam kandunganku dan kelancaran proses kelahiranku nanti. Amiin.