Catatan Lydia

Catatan Lydia
Blog ini didedikasikan untuk anak-anakku tercinta, Abhi Sachi dan Samy yang mewarnai hidupku dengan kebahagiaan. Tulisan-tulisan di blog ini menjadi saksi, betapa berartinya kalian untuk mama. Kelak ketika kalian besar nanti, memori indah yang tertulis di blog ini akan selalu kita kenang bersama. I love U Nak..


Senin, Oktober 07, 2013

Sachi dan Gargantuar

Hari minggu kemarin belum genap seminggu papa meninggalkan kami ke negeri Sakura, tempat kelahiran Sachi, untuk kembali melanjutkan studinya. Neng Sachi adalah yang paling terpengaruh dengan berangkatnya papa. Kelihatan sekali setelah papa pergi, Sachi jadi lebih sensitif. Terkadang tiba-tiba menangis, kadang terdiam. Apalagi di hari-hari pertama ditinggal papa, tidur malamnya gelisah, sering terbangun dan menangis tersedu. Selain itu mendengar kata "papa" saja, air mukanya langsung berubah. Bibirnya membentuk garis lengkung ke bawah. Ah sedih sekali melihatnya.

Minggu pagi, Mama, Abhi, Sachi dan Samy seperti biasa ngariung di ruang tengah. Tidak ada agenda khusus hari itu. Kami hanya bersantai sambil ngobrol apa saja. Mama memangku Samy, sambil memperhatikan kakak Abhi dan Sachi yang sedang bermain lego. Sebenarnya dari pagi Sachi sudah bilang, bahwa ia ingin sekali menelpon papa. Tetapi karena internet rumah sedang problem, jadi terpaksa rencana skype-an pun gagal total. Alternatif lain via modem 3G kok ya putus sambung. Skype drop connection berkali-kali sampai akhirnya mama menyerah. Sachi menuruti penjelasan mama, walaupun nampak gurat kecewa di wajahnya. “Sabar ya neng, mudah-mudahan internetnya cepet bener ya.” Ia pun mengangguk kecewa.

Tak lama, Abhi bosan dengan legonya. Ia pun menuju laptop danmenyalakannya.
“Mama, aku main game boleh ya.” Aku mengangguk. 
“Sebentar saja ya kakak.”

Kuperhatikan Abhi memainkan games plant vs zombie. Game yang ia suka dahulu, tetapi akhir-akhir ini sudah lama sekali tidak ia mainkan lagi.Tiba-tiba Sachi mendekat.

“Kakak, Sachi mau Gantuay.”
“Ga bisa Chi” jawab Abhi sekenanya. Sachi mulai merengek.

“Kakak, coba dibantu dulu Sachi kepengen apa. Apa sih chi Gantuay itu?” tanya mama.
“Kakak… Gantuay.. Sachi mau Gantuay.. Sachi suka GANTUAY.” 

Kali ini Sachi setengah menjerit. Kembali ia merengek-rengek. Abhi mulai kesal.

“Apa sih Kak, Gantuay itu?”
“Itu lho mama maksud Sachi itu GARGANTUAR, itu nama zombie. Tapi ga bisa muncul otomatis. Kan sudah diatur gamesnya. Biasanya kalau zombienya sudah banyak, baru GARGANTUAR muncul.”

Belum sempat aku berkomentar, tiba-tiba Abhi berteriak.. “Chi…ini GARGANTUAR nya munculll. Sini Chi liatt cepeettt, ” Kak Abhi memanggil Sachi.

Jujur, aku tak begitu memperhatikan sosok si GARGANTUAR. Yang kulihat, Sachi sudah kembali tersenyum dan tampak senang memperhatikan Abhi bermain. Ya sudahlah pikirku. Fokusku kembali pada Samy.

Tapi tak lama kemudian, Sachi merengek-rengek lagi. Minta sosok Gargantuar kembali muncul. Kali ini ia mulai menangis menjerit-jerit. Mama bingung lalu menghampiri Sachi.

“Kenapa Sachi? Maaf ya. kata kakak, Gargantuarnya munculnya ga bisa otomatis. Sachi suka banget ya sama Gargantuar ?” tanyaku.
“Sachi suka Gantuay, Mama. Sachi suka. sukaa. Kayak Papa.”

Haaaah.. Apa hubungannya Gargantuar dengan Papa. Aku mulai penasaran. 
Masa iya sih ada Zombie mirip Papa. atau Papa mirip Zombie. xixixi..

“Kak Abhi, coba mana mama lihat Zombie GARGANTUAR. Apanya yang kayak Papa?” aku mendekat menghampiri Kak Abhi di depan laptopnya.

Daaaaan, mama pun diam. 
Aku terperangah melihat sosok si Zombie GARGANTUAR. 

Hoalaah Naak.... mama bingung ingin tersenyum atau menangis melihatnya. Sachi dengan air mata berderai di pipinya menghampiriku.

Tersedu-sedu ia berkata, “Mama, Sachi mau digendong Papa seperti itu lagi. Seperti Gantuay. Gantuay gendong anaknya. Tapi papa ga ada. Huwaaaaaa. Sachi mau telpon Papa, Maamaaa” jeritnya tambah kencang, kali ini ditambah pula drama guling-guling di matras.

Kupandangi sosok Gargantuar di laptop itu. Sosok Zombie besar yang tengah menggendong anak zombie di punggungnya. Pantas saja Gargantuar mengingatkan ia pada papanya. Gendong-gendongan seperti itu menjadi keseharian di rumah kami. Antara Sachi dan Papa, ya mereka memang sedang mesra-mesranya di minggu-minggu terakhir sebelum papa berangkat.




Segera kusimpan Samy sementara dimatras. Kuraih dan kupeluk anak gadisku. Kuciumi keningnya.

“Sini, mama aja ya yang gendong Sachi. Mama bisa juga kok jadi Gargantuar. ”

Air matanya masih berlinangan. Kudengar lirihan dari mulut kecilnya menyebut Papa. Kuseka air mata itu. Ah gadis kecilku, sabar ya Nak. Doakan, semoga kita bisa segera menyusul cinta pertamamu, papamu tersayang.

Paapaa, she misses u soooo much.