Catatan Lydia

Catatan Lydia
Blog ini didedikasikan untuk anak-anakku tercinta, Abhi Sachi dan Samy yang mewarnai hidupku dengan kebahagiaan. Tulisan-tulisan di blog ini menjadi saksi, betapa berartinya kalian untuk mama. Kelak ketika kalian besar nanti, memori indah yang tertulis di blog ini akan selalu kita kenang bersama. I love U Nak..


Sabtu, Agustus 14, 2010

Ma, abhi malu

Ketika itu hari Rabu tatkala kalender menunjukkan tanggalan 14 di bulan kemerdekaan RI, kami pergi melihat pesta kembang api atau biasa disebut hanabi di miyajima. Sebuah momen tahunan yang sangat terkenal dan sangat sayang untuk kami lewatkan, apalagi bulan depan kami sudah akan pulang ke Indonesia. Perjalanan cukup jauh untuk kami lalui dengan membawa abhi dan sachi. Jalan kaki ke eki, dilanjutkan naik kereta, kemudian menyebrang dengan kapal baru kami bisa tiba di miyajima untuk melihat pesta kembang apiyang berpusat di sekitar Itsukushima Shrine.



Dengan penuh sesaknya manusia, sungguh penuh perjuangan untuk bisa datang kesini terlebih dengan dua anak kecil. Namun semua letih dan lelah, terbayar dengan sumringahnya, bahagianya abhi-kun melihat kembang api yang menari-nari di langit miyajima. Kembang api beranekabentuk, beraneka warna yang diluncurkan jauh dekat benar-benar indah dan mengagumkan semua mata yang memandang. Bisa kulihat binar-binar di mata abhi-kun menyaksikannya. Hingga ketika berada di kapal dalam perjalanan pulang pun, mata abhi-kun masih saja terpana melihat kembang api yang bersahut-sahutan memecah keheningan hiroshima malam itu. Ah senangnya ia malam itu...



Ketika jam sudah menunjukkan hampir pukul11 malam, di dalam kereta letih menyergapku dan papanya, di saat sachi terlelap dalam dekapanku, abhi masih antusias meloncat kesana kemari, bocah lincah yang benar-benar tak mau diam. Kami sungguh beruntung, ditengah padatnya kereta malam itu, sepasang muda mudi berpakaian yukata, khas tradisional jepang lengkap dengan 'bakiak' ala oshin mempersilahkan kami duduk. Aku duduk di pinggir, sementara abhi duduk di tengah. Papa tidak mau duduk dan mempersilahkan sang perempuan berpakaian yukata untuk duduk kembali. Kulihat perempuan itu sekilas, hmm tampaknya ia seumur denganku. Wajahnya khas jepang dengan kulit putih bermata sipit tampak cantik dengan balutan kimono berwarna birunya. Wajahnyapenuh senyum, ramah sekali ia. Kulihat ia tampak mengajak abhi bercakap-cakap dan bercanda. Aku pun menyandarkan diri di badan kereta yang membawa kami pulang menuju saijo. Hufff hari yang membahagiakan sekaligus melelahkan..



Tak lama abhi menyikut-nyikut lenganku.Aku menatapnya, "ada apa nak?". Abhi tak menjawab, ia hanya senyum-senyum saja.Tak lama ia tampak asyik bercanda kembali dengan sang perempuan beryukata itu.Walau tanpa kata tercetus dari bibirnya, dari wajahnya aku tahu bahwa abhi senang bercanda dengan perempuan itu, walau tentunya ia tak mengerti entah apa yang dicandakan perempuan itu padanya karena bahasa yang berbeda. Aku tersenyum melihatnya.



Dan... Tiba-tiba abhi menyembunyikan mukanya di belakang punggungku.

"Abhi kenapa nak?"

"Tidak tidak.." ucapnya sambil menggelengkan kepalanya dari balik lenganku.



Tak lama ia menyembulkan kepalanya dari balik lenganku. Masih dengan sepuluh jari menutupi wajahnya. Ia tampak lucu sekali dengan mata dan bibirnya yang masih terlihat di sela-sela jarinya yang mungil, seakan tak kuasa menutupi sumringahnya wajah itu.



"Mama...."panggilnya.

"Abhi malu mama... abhi maluuu,"ujarnya sambil senyum. Gigi putihnya malu-malu tersembul menghiasi bibir mungil itu.

"Malu kenapa sayang?"

"Itu mama.. teteh itu.."telunjuknya mengarah pada perempuan beryukata itu. Jemari mungil abhi masih saja menutupi wajahnyayang merona kemerahan.

"Abhi malu mama sama dia.. dia kan anak puan, abhi anak waki-waki.. abhi malu deh ma"sambil terus ngumpet di balik punggung mama, sambil matanya tetep mencuri pandang di balik jemari mungilnya, memandang perempuan beryukata dengan wajah bersemu.



Hahahaha gubrak deh nak. Mama ga bisa menahan tawa malam itu melihat tingkahmu. Ya ampuun dear, usiamu baru akan menuju 4 tahun desember nanti, masa sih udah membeda-bedakan laki-laki dan perempuan sampe sebegitunya, pake malu segala menghadapi sang perempuan beryukata. Malam itu aku tertawa-tawa kecil sendiri dalam perjalanan pulang menuju saijo. Pun setelah perempuan beryukata turun lebih dulu di stasiun sebelum kami. Lambaian tangannya disambut abhi dengan keluar dari balik punggungku. Melambaikan tangannya dengan semangat pada perempuan itu.



"Daah.. nanti kapan-kapan kita main lagi ya,"ujar abhi pelan nyaris tak terdengar. Senyum lebar menghiasi wajahnya malam itu.



Hihihi lucunya. Kebayang deh nanti begitu Abhi menginjak ABG, apa yang akan terjadi ya. Respon kami sebagai orangtua nanti akan seperti apa ya. Hahaha entahlah, hanya saja malam itu di benakku tiba-tiba penuh dengan hal-hal konyol yang membuatku tersenyum-senyum geli. Saijo eki masih beberapa menit lagi dalam jangkauan. Malam terasa indah, dengan bulan semakin kokoh di peraduan. Rabu, 14 Agustus 2010.

Senin, Agustus 09, 2010

Ketika Kakak Berontak

Minggu-minggu ini sungguh berat sekali bagiku dan suami, berat menghadapi kakak abhi yang akhirnya berontak. Kakakku yang santun, kakak yang penurut, kakak yang baik hati dan penyayang, akhir-akhir ini mulai menunjukkan sikap berontak. Entahlah, aku tidak mengerti apakah memang karena faktor kewajaran di usianya yang sekarang ini, atau karena kehadiran adik bayi yang membuatnya mencari perhatian kami, atau karena pengaruh teman-teman sepermainannya di rumah atau di sekolah, atau karena didikan kami yang salah. Entahlah.. pikiran dan hatiku saat ini penuh dengan tanda tanya. Perasaan bersalah, menyalahkan diriku sendiri kerap hadir. Apakah didikanku salah ya Tuhan, mengapa kakak tiba-tiba berubah. Apakah aku orang tuanya memberinya contoh yang buruk, yang mungkin secara tak sadar sudah kulakukan. Bukankah anak seusianya adalah peniru ulung, yang kerap meniru lingkungan sekitarnya. Lantas meniru akukah dia. Bersalah, sedih dan putus asa adalah perasaanku saat ini.

Yah.. hari itu air mataku tumpah. Tumpah menghadapi semua tingkah lakunya. Kesabaranku luluh di tangan sebuah amarah yang tak mungkin kusalurkan padanya. Pagi itu dimulai dengan pemberontakan kakak yang tidak mau berangkat ke sekolah. Penolakannya frontal, ia meronta saat kuraih tangannya untuk mengantarnya ke sekolah seperti biasanya. Guling, mengaitkan tangan atau kakinya di tiang, hingga melepas paksa genggamanku kemudian berlari pulang adalah sekian banyak tingkahnya. Aku paham, di usia sedini kakak, sekolah bukanlah utama. Dunianya sewajarnya dipenuhi oleh permainan. Namun kuakui kondisi saat ini dimana aku harus fokus mengurus si kecil, aku tidak bisa mengisi hari-hari kakak dengan berbagai permainan dan pelajaran bersama sebanyak dulu, sewaktu belum hadir neng sachi. Dulu, bila kakak ingin bermain bola, bermain lempar-lemparan di luar, memanjat pohon, aku selalu bisa mendampinginya kapanpun ia mau. Bermain bersama. Namun kini, tangisan neng sachi kerap menghalangi keinginannya. Dahulu kerap kami belajar bersama, olahraga bersama, sayang-sayangan berdua. Kini, tanpa sekolah, kakak akan menghabiskan waktu di depan laptop di saat aku sibuk mengurusi neng sachi. Aku tidak ingin itu Tuhan. Laptop dan internet kuyakini bukan pendidikan yang baik baginya, bukan untuk saat ini. Atau kerap ia menirukan anak-anak tetangga kami bermain di jalanan, yang tentunya membahayakannya. Untuk itu aku merelakannya sekolah di belakang apato kami, agar ia mendapatkan teman bermain sebayanya, bermain sesuatu yang bermanfaat bagi fisik, motorik dan kepribadiannya, mengisi hari-harinya dengan yang lebih baik. Walaupun aku tau kebersamaanku dengannya akan sedikit berkurang, tapi itu lebih baik untuknya. Sejauh ini kulihat materi disekolah untuk abhi bukanlah belajar serius, melainkan belajar sambil bermain. Bermain siram-siraman air, meniup gelembung sabun, sobek-sobekan kertas atau yang paling serius puzzle. Kemudian ia akan makan siang, tidur siang, sikat gigi, makan snack dan minum susu bersama. Lantas mendengarkan cerita dari buku yang dibacakan sensei, baru ditutup menonton film kartun anak-anak. Entah, hanya menurutku materi itu adalah belajar yang sangat cocok untuknya, isinya bermain bermain bermain dan belajar. Apalagi efektifnya kakak sekolah hanya 3 jam saja sehari. Gundah gulana, itulah yang kurasakan setiap kali harus menghadapi penolakannya ke sekolah.

Dan, tidak cukup dengan rontaannya ke sekolah. Di rumah pun ia sama saja. Kadang ia mulai berteriak atau melempari mainan-mainannya dengan kasar bila keinginannya tidak kami turuti. PAdahal dulu, kakak tidak pernah rewel tiap kali keinginannya tidak bisa kami penuhi. "Tak apa-apa ma" kata kakak biasanya. Tapi kini, dengan wajah manyun, kedua tangan dilipat didepan dada, ia akan menatap kami dengan tajam menunjukkan ketidaksukaannya saat keinginannya kami tolak. Atau terkadang ia membanting pintu kamar dengan keras berulang kali hingga membuat sachi menangis. Kerap pula ia memancing amarahku dengan menendangi kakiku. Tatkala aku larang, ia mengulangi lagi sambil menatap mataku seolah ingin melihat reaksiku atas kenakalannya. Kesabaran.. yah itulah yang sangat kami butuhkan saat ini.

Sore kemarin, ia memaksa bermain di luar. Aku yang belum mengenakan kerudung dan baju panjang tentu saja tergopoh-gopoh. Sambil menggendong sachi, aku berusaha mengawasinya bermain dari balik jendela kamar. Aku tidak bisa melepas anak bermain sendiri di luar, tidak.. itu bukanlah kebiasaanku. Ia masih terlalu kecil untuk mengerti arti bahaya. Dan saat maghrib tibatatkala suamiku pulang dari kampus, ia masih bermain di luar. Suamiku mengajaknya pulang karena matahari mulai terbenam pertanda hari mulai malam. Dan apa jawabnya “Tidak Mau”. Lantas suamiku bertanya kembali,” mau pulang sekarang atau mau tidur di luar saja?”. Dan kakakku menjawab,”mau tidur di luar saja.” Yapp itu pilihannya. Kami membiarkannya menjalankan pilihannya itu sambil mondar mandir mengawasinya dari jauh. Pukul 8 malam, akhirnya ia pulang sendiri. Bunyi bel ditekan berulang-ulang. Ia mulai memanggil papa dari depan pintu rumah. Kami sepakat untuk menunggu sebentar untuk memberinya pelajaran akan makna konsekuensi. Namun ternyata tingkahnya semakin menjadi. Tak cukup berteriak, kakak juga menendangi pintu. Tatkala papa keluar berusaha untuk membujuknya, that’s it. Kakak memukul papa. Suamiku mulai terpancing emosinya. Menghadapi dua lelakiku yang sama-sama panas, aku harus maju menengahi. Yah begitulah. Malam ini aku dan papanya memberinya hukuman yang mungkin baginya sangat menyiksa, mengacuhkannya. Aku tak berkata-kata apapun merespon celotehnya padaku. Tangisan kakak menjadi, ia merayuku agar memaafkannya. Kami akhirnya memaafkannya, namun sesuai pilihannya untuk tidur di luar, malam ini kakak tidur di ruang depan, tidak di kamar kami. Kutemani ia hingga tertidur. Nampaknya ia mengerti akibat perbuatannya. Malam saat ia pulas, kupindahkan kakak kembali ke kamar. Kuusap wajahnya yang pulas. Ah nak, mengapa? Apa yang mengubahmu? Mama dan Papa sungguh menyayangimu. Kucium ia berulang kali. Maafkan ya sayang, bila mama dan papa terlalu keras padamu. Entahlah.. mungkin ini adalah bagian dari ketidaksiapan kami menghadapi tumbuh kembangnya yang tidak selalu positif di mata orang tuanya.

Dan hari ini pun kakak masih berontak walaupun sudah tidak terlalu frontal dibanding minggu lalu. Berulang kali meminta maaf dan diulang kembali. Kini sabar sabar dan sabar, sangat sangat kami butuhkan. Aku yakin setiap orang tua pasti melalui fasa ini. Bukankah melalui anak orang tua belajar menjadi orang tua yang sesungguhnya. Terlebih anak pertama, dialah yang mengajari orang tua bagaimana menemukan pola pengajaran bagi anak. Yang tanpa kami sadari, beban kakak sendiri mungkin sudah berat. Menghadapi lingkungan baru di jepang, memiliki adik baru, menghadapi teman-teman baru dengan karakter yang tak selalu positif. Sama beratnya juga untuk kami orang tuanya, tapi bukankah masih panjang jalan ke depan, ketika ia beranjak dewasa, dengan ganasnya lingkungan di luar sana. Pengaruh pergaulan bebas, rokok, dugem, narkoba dan masih banyak hal-hal berat yang harus dihadapinya. Yahhh ini belum apa-apa. Masih begitu besar kesempatan bagiku dan papa untuk membentuk pondasi karakternya, agar ia tahan tempaan dari pengaruh buruk nantinya. Bismillah.. Aku sangat percaya kakak sesungguhnya memiliki karakter yang baik, semua akan baik-baik saja. This too shall pass. Semangatttt :)

Jumat, Agustus 06, 2010

Jaundice, Bayi Kuning

Sharing kali ini terkait jaundice yang terjadi pada kedua anakku, Abhi dan Sachi selepas kelahirannya. Jaundice atau bayi kuning adalah lumrah terjadi pada hampir setiap bayi yang baru dilahirkan. Jaundice merupakan rona kekuningan yang muncul pada kulit mulai dari wajah, dada, perut hingga selaput mata akibat belum sempurnanya fungsi hati untuk membuang kelebihan bilirubin dalam darah. Definisi lengkapnya dapat dilihat pada situs-situs terpercaya sbb :

http://www.aap.org/family/jaundicefaq.htm
http://kidshealth.org/parent/pregnancy_newborn/common/jaundice.html#
http://www.sehatgroup.web.id/?p=640

Dulu ketika abhi baru dilahirkan, seperti halnya sebagian besar orang tua baru, kami masih terbawa euforia bahagia yang luar biasa sehingga pembelajaran mengenai jaundice sangat-sangat awam dan jarang kami lakukan. Dihari ke-3 kepulangan abhi dari rumah sakit, hasil cek bilirubinnya 7 sehingga kami lantas diperkenankan pulang. Pada saat kontrol selanjutnya di hari ke-7, bilirubin abhi meningkat menjadi 10. Dan disinilah kesalahan pengambilan keputusan kami sebagai orang tua dibuat. Abhi dinyatakan jaundice oleh dokter anak yang menanganinya. Dokter menyarankan, kalau boleh saya bilang cenderung memaksa, treatment fototerapi atau sinar. Kenapa saya bilang memaksa, karena saya masih ingat jelas disaat paniknya kami untuk memutuskan rawat atau tidaknya abhi, sang dokter anak berkata dengan santai, “Bu, harus fototerapi, kalau tidak kami tidak akan bertanggung jawab apabila terjadi hal-hal diluar yang diinginkan.” That’s it. Kata-kata yang tentunya menjadi skak-mat bagi setiap orang tua baru manapun. Yang tentunya mengiringnya dengan mudah untuk pasrah. Siapa sih yang tidak menginginkan yang terbaik bagi putra-putrinya. Alhasil abhi disinar selama tiga hari. Masih kuingat bagaimana si kecilku berada dalam ruang itu, dengan mata ditutup. Berpisah dengannya walau untuk semenit sedih sekali rasanya. Selama disinar supply ASI abhi juga harus mencukupi kebutuhannya saat itu. Pihak rumah sakit memintaku memsupply 8x100ml setiap harinya. Jumlah yang tentu sangat banyak bagi seorang ibu baru sepertiku, yang masih awam memeras, yang pikiran dan energinya tidak dalam kondisi terbaiknya. Namun demi bayiku, aku harus bisa memeras setetes demi setetes ASI agar anakku selalu mendapatkan ASI ibunya. KetikaPD belum terasa penuh, dan ASI masih jauh dari 100ml sementara sudah satu jam aku memeras, tak jarang air mataku tumpah di kamar laktasi. Menatap setiap ml botol-botol yang harus kupenuhi. Ah sungguh pengalaman yang tidak mengenakkan, semua karena kekurangtahuan kami sebagai orang tua baru.

Berbeda sekali dengan kelahiran sachi. Sachi ditangani oleh dokter-dokter di hiroshima. Secara klinis, sachi lebih potensial untuk memiliki bilirubin lebih tinggi karena ia berbeda golongan darah denganku. Apalagi kuning karena perbedaan golongan darah, termasuk golongan penyakit yang tentunya membahayakan. Di hari pemeriksaan yang ke-5, sachi mencapai bilirubin 15.3, wajah dan selaput matanya sudah tampak kuning. Di angka ini, mungkin sachi akan disinar apabila di indonesia. Sementara disini, dokter tidak meminta kami untuk sinar. Aku hanya diminta perbanyak memberinya ASI, minum minum dan minum. Itu saja. Dokter bilang tak mengapa dengan bilirubin setinggi itu. Kami bisa pulang dengan lega. Tanpa beban pikiran, ASI ku dengan mudah mengalir lancar. Berat sachi di usia satu bulan sudah mencapai 4.25kg. Oh ya.. jaundice pada sachi baru hilang sendiri setelah satu bulan lamanya. Hilangnya jaundice ini berbeda-beda pada setiap bayi. Umumnya hilang pada usia 2 minggu, namun ada pula yang baru hilang dengan sendirinya di usia satu bulan atau dua bulan, seperti sachi. Alhamdulillah.

Sebagai guidance, berikut ada table yang sangat membantu kita dalam membaca derajat jaundice, tabel ini diambil dari jurnal publikasi WHO (http://pediatrics.aappublications.org/cgi/reprint/114/1/297.pdf).


Dari tabel ini kita bisa mengetahui tingkat resiko jaundice terhadap bayi kita dengan melihat bilirubin pada setiap usia pengambilan darah. Dan ternyata.. dari tabel ini, abhi termasuk low risk zone atau zona terbawah. Dari garis, terlihat bahwa kuning akan mencapai puncak di usia 5-7 hari dan berangsur-angsur menurun. Dan benar bahwa kuning abhi memuncak di ahri ketujuh dan baru hilang di minggu kedua, yang saya yakini memang sudah saatnya hilang. Pengaruh sinar pasti ada namun rasanya tidak terlalu signifikan karena hasil sebelum dan sesudah sinar, tidak jauh berubah menurunkan bilirubinnya. Yang jelas-jelas berubah adalah kulit bibir abhi yang menghitam dan mengelupas sejak disinar hingga beberapa hari setelahnya :(

Sementara sachi, dari tabel ini termasuk low intermediate risk zone, yang mencapai puncak di hari ke-5, stabil di hingga hari ke-7 kemudian akan berangsur turun setelahnya. Jadi berdasarkan tabel ini, abhi dan sachi memang seharusnya tidak perlu disinar, apalagi treatment lain yang lebih berat. Mengingat berdasarkan gelaja jaundice patologis yang umumnya muncul dalam 1x24 jam tidak terjadi pada kedua anakku. Dengan kondisi fisik yang bagus atau tidak terlihat sakit, kemampuan minum tidak menurun, pipis bagus lebih dari 6x sehari, pub mulai kuning sejak hari ketiga pertanda kelebihan bilirubin sudah dibuang secara alami mekanisme dalam tubuhnya.

So, tanpa bermaksud mengkritisi pihak-pihak terkait, pembelajaran dari hal ini adalah perlunya bagi orang tua jauh sebelum kelahiran bayi untuk belajar banyak hal mengenai kesehatan anak hingga menjadi lebih siap, lebih aware dan kritis pada kesehatan buah hatinya. Bekal pengetahuan kesehatan ini akan selalu berguna dalam setiap pengambilan keputusan terhadap kondisi anak kita. Jangan sampai menunggu sakit, karena kala itu biasanya orang tua dalam kondisi panik, lelah, takut dan bingung hingga tidak sempat mencari tahu second opinion bagi putrinya. Belajar dari situs-situs medis terpercaya dapat menjadi langkah utama yang bisa kita lakukan. Benar bahwa sebagian kita adalah awam, namun tidak lantas kita dapat lepas tangan dan menyerahkan sepenuhnya pada tenaga medis. Untuk itu belajar belajar dan belajar akan kesehatan adalah menu wajib ketika anda menjadi orang tua, agar kita bisa menjadi partner bagi tenaga medis dalam menegakkan diagnosa dan mendiskusikan treatment terbaik bagi buah hati kita.