Catatan Lydia

Catatan Lydia
Blog ini didedikasikan untuk anak-anakku tercinta, Abhi Sachi dan Samy yang mewarnai hidupku dengan kebahagiaan. Tulisan-tulisan di blog ini menjadi saksi, betapa berartinya kalian untuk mama. Kelak ketika kalian besar nanti, memori indah yang tertulis di blog ini akan selalu kita kenang bersama. I love U Nak..


Minggu, Desember 19, 2010

Selamat Ulang Tahun, Abhi

Minggu, 19 Desember 2010 Abhi anakku berulang tahun yang ke-4. Empat tahun.. woow.. sudah empat tahun. Sungguh cepat sang waktu beranjak pergi, menutup lembaran cerita lama, menyisakan begitu banyak kenangan hidup;  suka, duka namun ada bahagia disana. Kelahiran matahari kecilku ini salah satunya.

Alhamdulillah kini bayiku nan mungil sudah beranjak besar. Teringat empat tahun yang lalu tatkala tangisan pertamanya meramaikan sore hari diiringi tangis bahagiaku dan suami, ketika kami memeluknya untuk pertama kali. Putra pertama kami lahir sudah.  Ialah sang lelaki yang menguatkan kami. Ialah sang guru, bersamanya kami belajar menjalani peran baru sebagai orang tua. Ia juga sang rembulan yang meneduhkan hati kami. Ialah sang bintang yang menyirnakan gelap dalam setiap langkah kami. Ialah sang matahari yang selalu bersinar menyemangati hari kami. Ia mewarnai hari-hari kami, ceria dan bahagia. Ia anakku, Abhi Ahmad Alizachrei.

Abhi, di namamu kami selipkan rangkaian doa padaNya. Berharap engkau kelak menjadi lelaki nan tangguh, umat Muhammad yang mulia, pandai bersyukur dan selalu mengingatNya dalam setiap hela nafasmu.

Abhi, padamu kami sematkan angan agar kelak engkau dapat tumbuh sehat dan rupawan; tak hanya rupawan hati, tapi juga rupawan tingkah laku dan tutur katamu.

Dan kini sang empunya nama sudah tumbuh menjadi bocah lincah. Ia baik hati dan penyayang. Selamat ulang tahun yang ke-4 anakku sayang. Mama dan papa selalu mencintaimu.

Menggubah bebas lagu Galang Rambu Anarki-nya bang Iwan :

“abhi ahmad alizachrei anakku
cepatlah besar matahariku
menangis yang keras, janganlah ragu
tinjulah congkaknya dunia buah hatiku
Doa kami di nadimu”

Selamat ulang tahun kakak Abhi sayang. Terima kasih telah menjadi anak baik kami selama ini. Maafkan mama dan papa ya Nak, terkadang tidak mampu sempurna di matamu. Keep our promise son, mama dan papa akan belajar menjadi orang tua terbaik untukmu. Amiin.


Kamis, Desember 16, 2010

Sachi Sarjana ASI

Yeayyyy hari ini telah tiba. Hari yang kunanti-nanti datang juga. Alhamdulillah hari ini genap enam bulan sudah Sachi diamanahkan kepada kami. Terima kasih Allah telah kau percayakan putri kecil sachi untuk kami jaga, kami besarkan penuh cinta kasih dan kami kenalkan ia pada-Mu dan pada agama-Mu. Terima kasih karena sachi telah mewarnai hidup kami dengan kebahagiaan, melengkapi keluarga kami dengan keceriaan. Engkau karuniai ia kesehatan yang baik, wajah nan cantik, fisik yang sempurna, alhamdulillah. Semoga kelak ia memiliki akhlak yang tak kalah sempurna, agar ia menjadi umat-Mu yang sholeha. Amiin.

Hari ini sachiku enam bulan sudah. Berarti enam bulan pula aku telah Engkau mudahkan untuk memberikan putriku yang terbaik, ASI.. ciptaan-Mu yang tiada tandingnya.

Hari ini sachiku lulus asi eksklusif. Berarti perjalanan kami berdua menuju sempurna setidaknya masih 1.5 tahun ke depan. Semoga Engkau meridhoi keinginanku menyempurnakannya. Amiin.


Hari ini terhatur beribu terima kasih bagi banyak pihak yang memudahkan jalan kami menuntaskan Asi eksklusif :

Papa Adi, terima kasih atas segala support yang luar biasa, selalu ada untuk kami: aku, abhi dan sachi, tak jenuh menjadi pendengar keluhan sejati serta motivator ASI terbaikku.

Opa, oma, nenek dan kakek, terima kasih atas segala saran dan wejangan hidup, juga atas kerelaan menyingsingkan lenganmu untuk meringankan setiap langkah kami kapanpun itu serta atas doa yang tiada putus.

Rekan kerja,teman dan sahabatku semua, terima kasih telah memahami , berbagi ceria, berbagi cerita. Bahwa care dan support telah membawa sugesti positif yang luar biasa.

Terima kasih..

Hari ini sachiku sudah besar. Dan aku bahagia karenanya.

Senin, Desember 13, 2010

Neng menuju MPASI

Menuju 6 bulan sejak sachi hadir menceriakan keluarga kecilku hanya berjarak tak sampai satu minggu lagi. Alhamdulillah senang dan bahagianya mama menanti tibanya saat itu. Hari dimana kita berdua lulus ujian asi eksklusif ya neng. Hip hip hurray, Neng S1 euy. Neng sachi mama hebaaaat :)

Memberikanmu ASI, hanya ASI selama 6 bulan ini sudah menjadi kewajiban mama sebagai seorang ibu. Mama memang tidak bisa memberikanmu kuantitas waktu berlebih karena pekerjaan mama, tapi insya Allah mama janji padamu nak, mama harus bisa mengejarnya dengan kualitas yang lebih baik di setiap pertemuan kita. Insya Allah ASI menjadi awal janji mama, memenuhi yang terbaik bagi kesehatan dan kecerdasanmu serta kedekatan emosional kita berdua. Tapiii… semoga tidak berakhir sampai disini ya nduk, karena perjalanan kita masih panjang. Setidaknya hingga 1.5 tahun ke depan Insya Allah momen-momen indah ini tetap bisa kita nikmati berdua. Doakan mama selalu semangat dan sehat menyusuimu dan menjaga stok ASIP selama bekerja ya nak.

Yaaak.. cukup bermelow ria, sekarang saatnya menyusun rencana selanjutnya. Oh yaaa neng kelihatannya sudah siap sekali untuk MPASI. Sudah hampir seminggu ini, tiap kali makan bersama neng Sachi, mama harus penuh perjuangan. Lengah sedikit, piring mama ditarik, sendok mama dimasukin mulut, belum lagi jus buah yang selalu menggoda neng. Maaf ya Nduk, you just have to wait. Waktunya pasti tiba juga buat neng makan. Hihihi jadi inget wajah neng yang suka nces tiap kali menatap mama menyeruput jus buah segar, melahap suap demi suap sepiring lauk pauk enak. Duuuhhh kaciaaan :D

Sooo… sudah seminggu ini mama heboh browsing sana sini, tanya sana sini mulai dari list menu MPASI yang sudah boleh dikenalkan di awal 6+, menyusun jadwal MPASI sampai dengan hunting perlengkapan MPASI must have yang sangat membantu ibu bekerja sepertiku ini. Halahhhh kok heboh banget ya.. kan harusnya dah pengalaman nyiapin MPASI kakak abhi dulu. Hihihi biarin deh, kan udah 4 tahun berlalu, jadi otomatis belajar lagi dari awal.

Ternyata menyusun MPASI itu gampang-gampang susah ya. Sama halnya seperti ASI, dibutuhkan banyak motivasi besar untuk mewujudkannya. Apalagi saat ini sangat mudah sekali menemukan produk makanan bayi instan nan praktis, mulai dari biscuit, bubur susu, nasi tim dan seterusnya dan seterusnya.. saking banyaknya jadi bingung nyebutin varian produknya. Hehehe.. sedikit banyak terkadang menggoda mama juga lho nak. Uppsss.. :D Tapi… selagi mama bisa, mama usahakan untuk membuatkan sendiri MPASI untukmu neng, bukankah resikonya tidak jauh dari kewajiban bangun lebih subuh dari biasanya. Dan sepertinya mama juga mulai terbiasa :)

Berdasarkan hasil review dokumen-dokumen yang ada, plan MPASI sachi :

Minggu 1 : Serealia + ASI

Minggu 2 : Serealia + ASI + Sayur

Minggu 3 : Serealia + ASI + Buah

Minggu 4 : Kombinasi Serealia Sayur dan Buah

dengan,

Menu Serealia : Beras Merah Wangi, Tepung Kedelai, Oatmeal

Menu Sayur : Kabocha, Buncis

Menu Buah : Alpukat, Jeruk, Pisang, Pepaya

Waaah mama sudah tidak sabar menanti hari itu neng. Juga sudah tidak sabar mencoba segala macam menu untukmu. Mama sudah merencanakan menambahkan kentang, ubi kukus, kacang hijau di menu karbohidratmu. Menambahkan varian sayur bayam, wortel dan buah apel, pir, mangga, strawberry. Dilanjutkan dengan pengenalan protein, daging ayam, hati, telur, dst dst. Hmm apalagi yaaa… Ahh sooo exciting.. Penasaran banget melihat ekspresimu menyentuh makanan pertamamu. Yang hebat ya anakku sayang, semoga dengan MPASI home made ala mama nanti, neng bisa mengenal dan melahap semua jenis makanan, tanpa menjadi picky eater dan spesialis non sayur seperti mamamu ini. Amiiiin

Kamis, Oktober 21, 2010

Anak Burung

......
Burung pipit mencuit-cuit
Mencari makan ditengah sawah
Mencari makan untuk anaknya

Ditengah sawah ada Pak Tani
Mengusir burung supaya pergi
Lalalalala
......

Itu sepenggal lagu anak-anak yang cukup sering kudengar. Entah siapa pengarangnya dan siapa yang menyanyikannya pun aku tak tahu. Lagu itu begitu saja bermukim di memoriku karena sering dinyanyikan oleh Abhi, anakku. Namun ada satu yang menggelitik setiap kali kami menyanyikan lagu ini bersama-sama. Mengawali menyanyikan lagu ini, abhi tampak riang, tersenyum sambil menirukan burung yang sedang terbang. Namun di akhir lagu, ekspresinya akan berubah. Dan sejurus kemudian, meluncurlah pertanyaan itu. Pertanyaan yang sama dan selalu diulang-ulang..

"Mama, kenapa Pak Taninya jahat.. ?" ujarnya menekuk wajah.
"Lho kok jahat, jahat kenapa kak?" tanyaku mencoba menerka pikirannya.
"Kenapa Pak Tani mengusir burung, kan kasian ma burungnya," protesnya sambil manyun.
"Kan Pak Tani udah cape nanemin padi.. eh dimakan sama burung. Kan kasian Pak Taninya," ujarku heran.

"Tapi kan ma, burung mencari makan untuk anaknya.. kalo diusir Pak Tani nanti anak burung kelaparan. Ouww dia pasti sedih ya ma. Mama burung tidak dapat makanan untuk anaknya. Anaknya pasti kelaparan trus nanti mati ma. Napa Pak Tani mengusir burung..," rincinya diiringi murung diwajah mungil itu.

Hmm aku cukup terhenyak mendengar alasannya. Benar juga, sering kali aku sebagai orang tua tak sadar, aku tidak mencerna detil makna dibalik lagu anak-anak jaman sekarang. Biasanya aku lebih fokus ke melodinya yang riang, lantas sekadar menghapalnya supaya bisa bernyanyi bersama abhi. Memang ada pengecualian untuk sebagian lagu muslim dan lagu perjuangan yang beberapa liriknya sulit dimengerti anak-anak seumur abhi. Wajar ia akan bertanya beberapa makna lagu yang ia tak mengerti. Namun pada lagu ini, aku tak mengira lagu yang semula kuanggap ringan, justru dipertanyakan realitanya oleh anakku. Ternyata lirik lagu dicerna jelas oleh anak-anak seperti Abhi.

"Mmm iya ya kak, mungkin Pak Tani mengusir burung karena Pak Tani juga butuh padi untuk anaknya. Nanti kalo dimakan burung, anak Pak Tani dong yang kelaparan," ujiku sambil menunggu responnya.
"Mmmm.. harusnya kita berbagi dooong, kan kata mama kita harus berbagi, iya kann,"celotehnya padaku.
"Iya abhi ada benarnya juga. Mungkin Pak Tani harus membagi sedikit padinya untuk burung dan anaknya ya kak. Nanti kalo abhi ketemu burung yang kelaparan, kakak kasih makan ya."
"Iya maaa. Abhi kasih makan supaya ga lapar lagi anaknya."

Senyum mengembang di wajahnya kali ini sesudah memastikan anak burung tak kan kelaparan lagi. Satu pelajaran lagi bahwa betapa pengaruh audio dan visual bermakna sekali bagi anak-anak. So, bila lagu anak-anak ini saja memiliki makna yang kemudian dicerna berbeda oleh abhi, bagaimana dengan lagu-lagu dewasa, lagu percintaan, dangdut koplo, dan berbagai jenis audio visual lain yang beredar begitu bebasnya. Sebagai orang tua, tanya kenapa.

Dan diakhir cerita, lagu pun kami gubah seenaknya (mohon maaf bagi pencipta asli lagu ini :D)
......
Burung pipit mencuit-cuit
Mencari makan ditengah sawah
Mencari makan untuk anaknya

Ditengah sawah ada Pak Tani
Berbagi padi bersama burung
Lalalalala
......

Bandung, 15 Oktober 2010

Sabtu, Agustus 14, 2010

Ma, abhi malu

Ketika itu hari Rabu tatkala kalender menunjukkan tanggalan 14 di bulan kemerdekaan RI, kami pergi melihat pesta kembang api atau biasa disebut hanabi di miyajima. Sebuah momen tahunan yang sangat terkenal dan sangat sayang untuk kami lewatkan, apalagi bulan depan kami sudah akan pulang ke Indonesia. Perjalanan cukup jauh untuk kami lalui dengan membawa abhi dan sachi. Jalan kaki ke eki, dilanjutkan naik kereta, kemudian menyebrang dengan kapal baru kami bisa tiba di miyajima untuk melihat pesta kembang apiyang berpusat di sekitar Itsukushima Shrine.



Dengan penuh sesaknya manusia, sungguh penuh perjuangan untuk bisa datang kesini terlebih dengan dua anak kecil. Namun semua letih dan lelah, terbayar dengan sumringahnya, bahagianya abhi-kun melihat kembang api yang menari-nari di langit miyajima. Kembang api beranekabentuk, beraneka warna yang diluncurkan jauh dekat benar-benar indah dan mengagumkan semua mata yang memandang. Bisa kulihat binar-binar di mata abhi-kun menyaksikannya. Hingga ketika berada di kapal dalam perjalanan pulang pun, mata abhi-kun masih saja terpana melihat kembang api yang bersahut-sahutan memecah keheningan hiroshima malam itu. Ah senangnya ia malam itu...



Ketika jam sudah menunjukkan hampir pukul11 malam, di dalam kereta letih menyergapku dan papanya, di saat sachi terlelap dalam dekapanku, abhi masih antusias meloncat kesana kemari, bocah lincah yang benar-benar tak mau diam. Kami sungguh beruntung, ditengah padatnya kereta malam itu, sepasang muda mudi berpakaian yukata, khas tradisional jepang lengkap dengan 'bakiak' ala oshin mempersilahkan kami duduk. Aku duduk di pinggir, sementara abhi duduk di tengah. Papa tidak mau duduk dan mempersilahkan sang perempuan berpakaian yukata untuk duduk kembali. Kulihat perempuan itu sekilas, hmm tampaknya ia seumur denganku. Wajahnya khas jepang dengan kulit putih bermata sipit tampak cantik dengan balutan kimono berwarna birunya. Wajahnyapenuh senyum, ramah sekali ia. Kulihat ia tampak mengajak abhi bercakap-cakap dan bercanda. Aku pun menyandarkan diri di badan kereta yang membawa kami pulang menuju saijo. Hufff hari yang membahagiakan sekaligus melelahkan..



Tak lama abhi menyikut-nyikut lenganku.Aku menatapnya, "ada apa nak?". Abhi tak menjawab, ia hanya senyum-senyum saja.Tak lama ia tampak asyik bercanda kembali dengan sang perempuan beryukata itu.Walau tanpa kata tercetus dari bibirnya, dari wajahnya aku tahu bahwa abhi senang bercanda dengan perempuan itu, walau tentunya ia tak mengerti entah apa yang dicandakan perempuan itu padanya karena bahasa yang berbeda. Aku tersenyum melihatnya.



Dan... Tiba-tiba abhi menyembunyikan mukanya di belakang punggungku.

"Abhi kenapa nak?"

"Tidak tidak.." ucapnya sambil menggelengkan kepalanya dari balik lenganku.



Tak lama ia menyembulkan kepalanya dari balik lenganku. Masih dengan sepuluh jari menutupi wajahnya. Ia tampak lucu sekali dengan mata dan bibirnya yang masih terlihat di sela-sela jarinya yang mungil, seakan tak kuasa menutupi sumringahnya wajah itu.



"Mama...."panggilnya.

"Abhi malu mama... abhi maluuu,"ujarnya sambil senyum. Gigi putihnya malu-malu tersembul menghiasi bibir mungil itu.

"Malu kenapa sayang?"

"Itu mama.. teteh itu.."telunjuknya mengarah pada perempuan beryukata itu. Jemari mungil abhi masih saja menutupi wajahnyayang merona kemerahan.

"Abhi malu mama sama dia.. dia kan anak puan, abhi anak waki-waki.. abhi malu deh ma"sambil terus ngumpet di balik punggung mama, sambil matanya tetep mencuri pandang di balik jemari mungilnya, memandang perempuan beryukata dengan wajah bersemu.



Hahahaha gubrak deh nak. Mama ga bisa menahan tawa malam itu melihat tingkahmu. Ya ampuun dear, usiamu baru akan menuju 4 tahun desember nanti, masa sih udah membeda-bedakan laki-laki dan perempuan sampe sebegitunya, pake malu segala menghadapi sang perempuan beryukata. Malam itu aku tertawa-tawa kecil sendiri dalam perjalanan pulang menuju saijo. Pun setelah perempuan beryukata turun lebih dulu di stasiun sebelum kami. Lambaian tangannya disambut abhi dengan keluar dari balik punggungku. Melambaikan tangannya dengan semangat pada perempuan itu.



"Daah.. nanti kapan-kapan kita main lagi ya,"ujar abhi pelan nyaris tak terdengar. Senyum lebar menghiasi wajahnya malam itu.



Hihihi lucunya. Kebayang deh nanti begitu Abhi menginjak ABG, apa yang akan terjadi ya. Respon kami sebagai orangtua nanti akan seperti apa ya. Hahaha entahlah, hanya saja malam itu di benakku tiba-tiba penuh dengan hal-hal konyol yang membuatku tersenyum-senyum geli. Saijo eki masih beberapa menit lagi dalam jangkauan. Malam terasa indah, dengan bulan semakin kokoh di peraduan. Rabu, 14 Agustus 2010.

Senin, Agustus 09, 2010

Ketika Kakak Berontak

Minggu-minggu ini sungguh berat sekali bagiku dan suami, berat menghadapi kakak abhi yang akhirnya berontak. Kakakku yang santun, kakak yang penurut, kakak yang baik hati dan penyayang, akhir-akhir ini mulai menunjukkan sikap berontak. Entahlah, aku tidak mengerti apakah memang karena faktor kewajaran di usianya yang sekarang ini, atau karena kehadiran adik bayi yang membuatnya mencari perhatian kami, atau karena pengaruh teman-teman sepermainannya di rumah atau di sekolah, atau karena didikan kami yang salah. Entahlah.. pikiran dan hatiku saat ini penuh dengan tanda tanya. Perasaan bersalah, menyalahkan diriku sendiri kerap hadir. Apakah didikanku salah ya Tuhan, mengapa kakak tiba-tiba berubah. Apakah aku orang tuanya memberinya contoh yang buruk, yang mungkin secara tak sadar sudah kulakukan. Bukankah anak seusianya adalah peniru ulung, yang kerap meniru lingkungan sekitarnya. Lantas meniru akukah dia. Bersalah, sedih dan putus asa adalah perasaanku saat ini.

Yah.. hari itu air mataku tumpah. Tumpah menghadapi semua tingkah lakunya. Kesabaranku luluh di tangan sebuah amarah yang tak mungkin kusalurkan padanya. Pagi itu dimulai dengan pemberontakan kakak yang tidak mau berangkat ke sekolah. Penolakannya frontal, ia meronta saat kuraih tangannya untuk mengantarnya ke sekolah seperti biasanya. Guling, mengaitkan tangan atau kakinya di tiang, hingga melepas paksa genggamanku kemudian berlari pulang adalah sekian banyak tingkahnya. Aku paham, di usia sedini kakak, sekolah bukanlah utama. Dunianya sewajarnya dipenuhi oleh permainan. Namun kuakui kondisi saat ini dimana aku harus fokus mengurus si kecil, aku tidak bisa mengisi hari-hari kakak dengan berbagai permainan dan pelajaran bersama sebanyak dulu, sewaktu belum hadir neng sachi. Dulu, bila kakak ingin bermain bola, bermain lempar-lemparan di luar, memanjat pohon, aku selalu bisa mendampinginya kapanpun ia mau. Bermain bersama. Namun kini, tangisan neng sachi kerap menghalangi keinginannya. Dahulu kerap kami belajar bersama, olahraga bersama, sayang-sayangan berdua. Kini, tanpa sekolah, kakak akan menghabiskan waktu di depan laptop di saat aku sibuk mengurusi neng sachi. Aku tidak ingin itu Tuhan. Laptop dan internet kuyakini bukan pendidikan yang baik baginya, bukan untuk saat ini. Atau kerap ia menirukan anak-anak tetangga kami bermain di jalanan, yang tentunya membahayakannya. Untuk itu aku merelakannya sekolah di belakang apato kami, agar ia mendapatkan teman bermain sebayanya, bermain sesuatu yang bermanfaat bagi fisik, motorik dan kepribadiannya, mengisi hari-harinya dengan yang lebih baik. Walaupun aku tau kebersamaanku dengannya akan sedikit berkurang, tapi itu lebih baik untuknya. Sejauh ini kulihat materi disekolah untuk abhi bukanlah belajar serius, melainkan belajar sambil bermain. Bermain siram-siraman air, meniup gelembung sabun, sobek-sobekan kertas atau yang paling serius puzzle. Kemudian ia akan makan siang, tidur siang, sikat gigi, makan snack dan minum susu bersama. Lantas mendengarkan cerita dari buku yang dibacakan sensei, baru ditutup menonton film kartun anak-anak. Entah, hanya menurutku materi itu adalah belajar yang sangat cocok untuknya, isinya bermain bermain bermain dan belajar. Apalagi efektifnya kakak sekolah hanya 3 jam saja sehari. Gundah gulana, itulah yang kurasakan setiap kali harus menghadapi penolakannya ke sekolah.

Dan, tidak cukup dengan rontaannya ke sekolah. Di rumah pun ia sama saja. Kadang ia mulai berteriak atau melempari mainan-mainannya dengan kasar bila keinginannya tidak kami turuti. PAdahal dulu, kakak tidak pernah rewel tiap kali keinginannya tidak bisa kami penuhi. "Tak apa-apa ma" kata kakak biasanya. Tapi kini, dengan wajah manyun, kedua tangan dilipat didepan dada, ia akan menatap kami dengan tajam menunjukkan ketidaksukaannya saat keinginannya kami tolak. Atau terkadang ia membanting pintu kamar dengan keras berulang kali hingga membuat sachi menangis. Kerap pula ia memancing amarahku dengan menendangi kakiku. Tatkala aku larang, ia mengulangi lagi sambil menatap mataku seolah ingin melihat reaksiku atas kenakalannya. Kesabaran.. yah itulah yang sangat kami butuhkan saat ini.

Sore kemarin, ia memaksa bermain di luar. Aku yang belum mengenakan kerudung dan baju panjang tentu saja tergopoh-gopoh. Sambil menggendong sachi, aku berusaha mengawasinya bermain dari balik jendela kamar. Aku tidak bisa melepas anak bermain sendiri di luar, tidak.. itu bukanlah kebiasaanku. Ia masih terlalu kecil untuk mengerti arti bahaya. Dan saat maghrib tibatatkala suamiku pulang dari kampus, ia masih bermain di luar. Suamiku mengajaknya pulang karena matahari mulai terbenam pertanda hari mulai malam. Dan apa jawabnya “Tidak Mau”. Lantas suamiku bertanya kembali,” mau pulang sekarang atau mau tidur di luar saja?”. Dan kakakku menjawab,”mau tidur di luar saja.” Yapp itu pilihannya. Kami membiarkannya menjalankan pilihannya itu sambil mondar mandir mengawasinya dari jauh. Pukul 8 malam, akhirnya ia pulang sendiri. Bunyi bel ditekan berulang-ulang. Ia mulai memanggil papa dari depan pintu rumah. Kami sepakat untuk menunggu sebentar untuk memberinya pelajaran akan makna konsekuensi. Namun ternyata tingkahnya semakin menjadi. Tak cukup berteriak, kakak juga menendangi pintu. Tatkala papa keluar berusaha untuk membujuknya, that’s it. Kakak memukul papa. Suamiku mulai terpancing emosinya. Menghadapi dua lelakiku yang sama-sama panas, aku harus maju menengahi. Yah begitulah. Malam ini aku dan papanya memberinya hukuman yang mungkin baginya sangat menyiksa, mengacuhkannya. Aku tak berkata-kata apapun merespon celotehnya padaku. Tangisan kakak menjadi, ia merayuku agar memaafkannya. Kami akhirnya memaafkannya, namun sesuai pilihannya untuk tidur di luar, malam ini kakak tidur di ruang depan, tidak di kamar kami. Kutemani ia hingga tertidur. Nampaknya ia mengerti akibat perbuatannya. Malam saat ia pulas, kupindahkan kakak kembali ke kamar. Kuusap wajahnya yang pulas. Ah nak, mengapa? Apa yang mengubahmu? Mama dan Papa sungguh menyayangimu. Kucium ia berulang kali. Maafkan ya sayang, bila mama dan papa terlalu keras padamu. Entahlah.. mungkin ini adalah bagian dari ketidaksiapan kami menghadapi tumbuh kembangnya yang tidak selalu positif di mata orang tuanya.

Dan hari ini pun kakak masih berontak walaupun sudah tidak terlalu frontal dibanding minggu lalu. Berulang kali meminta maaf dan diulang kembali. Kini sabar sabar dan sabar, sangat sangat kami butuhkan. Aku yakin setiap orang tua pasti melalui fasa ini. Bukankah melalui anak orang tua belajar menjadi orang tua yang sesungguhnya. Terlebih anak pertama, dialah yang mengajari orang tua bagaimana menemukan pola pengajaran bagi anak. Yang tanpa kami sadari, beban kakak sendiri mungkin sudah berat. Menghadapi lingkungan baru di jepang, memiliki adik baru, menghadapi teman-teman baru dengan karakter yang tak selalu positif. Sama beratnya juga untuk kami orang tuanya, tapi bukankah masih panjang jalan ke depan, ketika ia beranjak dewasa, dengan ganasnya lingkungan di luar sana. Pengaruh pergaulan bebas, rokok, dugem, narkoba dan masih banyak hal-hal berat yang harus dihadapinya. Yahhh ini belum apa-apa. Masih begitu besar kesempatan bagiku dan papa untuk membentuk pondasi karakternya, agar ia tahan tempaan dari pengaruh buruk nantinya. Bismillah.. Aku sangat percaya kakak sesungguhnya memiliki karakter yang baik, semua akan baik-baik saja. This too shall pass. Semangatttt :)

Jumat, Agustus 06, 2010

Jaundice, Bayi Kuning

Sharing kali ini terkait jaundice yang terjadi pada kedua anakku, Abhi dan Sachi selepas kelahirannya. Jaundice atau bayi kuning adalah lumrah terjadi pada hampir setiap bayi yang baru dilahirkan. Jaundice merupakan rona kekuningan yang muncul pada kulit mulai dari wajah, dada, perut hingga selaput mata akibat belum sempurnanya fungsi hati untuk membuang kelebihan bilirubin dalam darah. Definisi lengkapnya dapat dilihat pada situs-situs terpercaya sbb :

http://www.aap.org/family/jaundicefaq.htm
http://kidshealth.org/parent/pregnancy_newborn/common/jaundice.html#
http://www.sehatgroup.web.id/?p=640

Dulu ketika abhi baru dilahirkan, seperti halnya sebagian besar orang tua baru, kami masih terbawa euforia bahagia yang luar biasa sehingga pembelajaran mengenai jaundice sangat-sangat awam dan jarang kami lakukan. Dihari ke-3 kepulangan abhi dari rumah sakit, hasil cek bilirubinnya 7 sehingga kami lantas diperkenankan pulang. Pada saat kontrol selanjutnya di hari ke-7, bilirubin abhi meningkat menjadi 10. Dan disinilah kesalahan pengambilan keputusan kami sebagai orang tua dibuat. Abhi dinyatakan jaundice oleh dokter anak yang menanganinya. Dokter menyarankan, kalau boleh saya bilang cenderung memaksa, treatment fototerapi atau sinar. Kenapa saya bilang memaksa, karena saya masih ingat jelas disaat paniknya kami untuk memutuskan rawat atau tidaknya abhi, sang dokter anak berkata dengan santai, “Bu, harus fototerapi, kalau tidak kami tidak akan bertanggung jawab apabila terjadi hal-hal diluar yang diinginkan.” That’s it. Kata-kata yang tentunya menjadi skak-mat bagi setiap orang tua baru manapun. Yang tentunya mengiringnya dengan mudah untuk pasrah. Siapa sih yang tidak menginginkan yang terbaik bagi putra-putrinya. Alhasil abhi disinar selama tiga hari. Masih kuingat bagaimana si kecilku berada dalam ruang itu, dengan mata ditutup. Berpisah dengannya walau untuk semenit sedih sekali rasanya. Selama disinar supply ASI abhi juga harus mencukupi kebutuhannya saat itu. Pihak rumah sakit memintaku memsupply 8x100ml setiap harinya. Jumlah yang tentu sangat banyak bagi seorang ibu baru sepertiku, yang masih awam memeras, yang pikiran dan energinya tidak dalam kondisi terbaiknya. Namun demi bayiku, aku harus bisa memeras setetes demi setetes ASI agar anakku selalu mendapatkan ASI ibunya. KetikaPD belum terasa penuh, dan ASI masih jauh dari 100ml sementara sudah satu jam aku memeras, tak jarang air mataku tumpah di kamar laktasi. Menatap setiap ml botol-botol yang harus kupenuhi. Ah sungguh pengalaman yang tidak mengenakkan, semua karena kekurangtahuan kami sebagai orang tua baru.

Berbeda sekali dengan kelahiran sachi. Sachi ditangani oleh dokter-dokter di hiroshima. Secara klinis, sachi lebih potensial untuk memiliki bilirubin lebih tinggi karena ia berbeda golongan darah denganku. Apalagi kuning karena perbedaan golongan darah, termasuk golongan penyakit yang tentunya membahayakan. Di hari pemeriksaan yang ke-5, sachi mencapai bilirubin 15.3, wajah dan selaput matanya sudah tampak kuning. Di angka ini, mungkin sachi akan disinar apabila di indonesia. Sementara disini, dokter tidak meminta kami untuk sinar. Aku hanya diminta perbanyak memberinya ASI, minum minum dan minum. Itu saja. Dokter bilang tak mengapa dengan bilirubin setinggi itu. Kami bisa pulang dengan lega. Tanpa beban pikiran, ASI ku dengan mudah mengalir lancar. Berat sachi di usia satu bulan sudah mencapai 4.25kg. Oh ya.. jaundice pada sachi baru hilang sendiri setelah satu bulan lamanya. Hilangnya jaundice ini berbeda-beda pada setiap bayi. Umumnya hilang pada usia 2 minggu, namun ada pula yang baru hilang dengan sendirinya di usia satu bulan atau dua bulan, seperti sachi. Alhamdulillah.

Sebagai guidance, berikut ada table yang sangat membantu kita dalam membaca derajat jaundice, tabel ini diambil dari jurnal publikasi WHO (http://pediatrics.aappublications.org/cgi/reprint/114/1/297.pdf).


Dari tabel ini kita bisa mengetahui tingkat resiko jaundice terhadap bayi kita dengan melihat bilirubin pada setiap usia pengambilan darah. Dan ternyata.. dari tabel ini, abhi termasuk low risk zone atau zona terbawah. Dari garis, terlihat bahwa kuning akan mencapai puncak di usia 5-7 hari dan berangsur-angsur menurun. Dan benar bahwa kuning abhi memuncak di ahri ketujuh dan baru hilang di minggu kedua, yang saya yakini memang sudah saatnya hilang. Pengaruh sinar pasti ada namun rasanya tidak terlalu signifikan karena hasil sebelum dan sesudah sinar, tidak jauh berubah menurunkan bilirubinnya. Yang jelas-jelas berubah adalah kulit bibir abhi yang menghitam dan mengelupas sejak disinar hingga beberapa hari setelahnya :(

Sementara sachi, dari tabel ini termasuk low intermediate risk zone, yang mencapai puncak di hari ke-5, stabil di hingga hari ke-7 kemudian akan berangsur turun setelahnya. Jadi berdasarkan tabel ini, abhi dan sachi memang seharusnya tidak perlu disinar, apalagi treatment lain yang lebih berat. Mengingat berdasarkan gelaja jaundice patologis yang umumnya muncul dalam 1x24 jam tidak terjadi pada kedua anakku. Dengan kondisi fisik yang bagus atau tidak terlihat sakit, kemampuan minum tidak menurun, pipis bagus lebih dari 6x sehari, pub mulai kuning sejak hari ketiga pertanda kelebihan bilirubin sudah dibuang secara alami mekanisme dalam tubuhnya.

So, tanpa bermaksud mengkritisi pihak-pihak terkait, pembelajaran dari hal ini adalah perlunya bagi orang tua jauh sebelum kelahiran bayi untuk belajar banyak hal mengenai kesehatan anak hingga menjadi lebih siap, lebih aware dan kritis pada kesehatan buah hatinya. Bekal pengetahuan kesehatan ini akan selalu berguna dalam setiap pengambilan keputusan terhadap kondisi anak kita. Jangan sampai menunggu sakit, karena kala itu biasanya orang tua dalam kondisi panik, lelah, takut dan bingung hingga tidak sempat mencari tahu second opinion bagi putrinya. Belajar dari situs-situs medis terpercaya dapat menjadi langkah utama yang bisa kita lakukan. Benar bahwa sebagian kita adalah awam, namun tidak lantas kita dapat lepas tangan dan menyerahkan sepenuhnya pada tenaga medis. Untuk itu belajar belajar dan belajar akan kesehatan adalah menu wajib ketika anda menjadi orang tua, agar kita bisa menjadi partner bagi tenaga medis dalam menegakkan diagnosa dan mendiskusikan treatment terbaik bagi buah hati kita.

Jumat, Juli 16, 2010

Welcome My Little Sakura

Tepat di minggu ke 40, akhirnya tanda-tanda persalinan yang lama dinanti itu mulai datang. Setelah seharian menyengaja berjalan-jalan nonstop selama 4 jam, dilanjutkan dengan berjalan jongkok ala ospek dulu beberapa jam mengelilingi setiap sudut ruang di rumah, selasa malam kontraksi itu datang. Kalender menunjukkan tanggal 15 Juni 2010 pukul 7.15 malam ketika pertama kontraksi datang, rasanya masih tidak terlalu nyeri dengan durasi 30 detik dan berulang setiap 15 menit. Pukul 11 malam kontraksi mulai teratur setiap 10 menit. Ibuku sudah mengingatkan bahwa kelahiran kedua, kontraksi setiap 10 menit sudah sangat dekat dengan kelahiran. Berbeda dulu dengan kelahiran pertama, kontraksi setiap 5 menit saja, masih harus menunggu berjam-jam lamanya hingga tiba waktu lahiran. Malam itu nyeri sudah sangat sakit terasa. Dalam hening, rasa sakit harus kuredam, meringis meringkuk diperaduan, bermaksud menunggu subuh tiba untuk menuju rumah sakit, agar pagi menjelang dengan terang, agar suamiku bisa beristirahat dulu malam itu. Detik demi detik berlalu terasa begitu lambatnya. Rasa nyeri yang mengiringi kontraksi mulai tak tertahankan, pukul 4 selepas shalat aku membangunkan suamiku. Mulailah kesibukan di subuh hari. Disini, apabila diluar jam kerja maka setiap calon pasien diharuskan menghubungi rumah sakit terlebih dahulu sebelum datang. Dengan bantuan beberapa rekan suami yang fasih bernihonggo ria, akhirnya perawat di rumah sakit menyatakan kami dapat segera berangkat mengingat waktu persalinan sudah dekat.

Subuh itu aku nekad berjalan kaki menuju rumah sakit didampingi suamiku. Suamiku bertanya dengan cemas, “mama yakin mau jalan kaki saja. Apa tidak sebaiknya naik taksi?”. Thanks dear ,tapi berjalan di tengan kontraksi akan mempercepat kelahiran adik dan semoga aku masih kuat menahan sakitnya kontraksi ini. Jarak rumah sakit yang biasanya kami tempuh dengan 10 menit berjalan kaki, kali ini menjadi 30 menit. Maklum saja sepanjang jalan ketika kontraksi hadir, kami menepikan diri dipinggir kalan, berhenti beberapa kali menunggu hingga kontraksi mereda. Berjalan lagi, berhenti lagi. Begitu seterusnya hingga akhirnya tiba juga dirumah sakit pukul 5 subuh.

Sesampainya di rumah sakit, kami langsung menuju lantai 5. Disana bidan jaga langsung menghampiri kami dan menuntunku ke ruang persalinan. Hiroko Yobuki nama bidan itu. Oh ya.. karena bahasa yg berbeda, kerap beliau berpikir keras tiap kali harus menjelaskan sesuatu padaku dan suami, hingga sering kali bahasa tarzan lah yang berbicara di antara kami. Setelah berganti baju bersalin, beliau melakukan periksa dalam. Woowww bukaan 8. Cepatnya.. sepertinya ini hasil kenekadan jalan kaki untuk kesini tadi. Perkiraan beliau, masih 2 jam lagi adik akan lahir. Dengan sabar ia menanyakan padaku, apakah aku ingin berada di meja persalinan atau berbaring di ruang berkasur empuk disampingnya. Ketika aku memilih ruang berkasur empuk itu, ia segera menuntunku. Begitu lembut dan sabarnya ia meringankan sakit kontraksiku saat itu. Menawariku ocha agar sedikit relaks pagi itu. Pun ia duduk bersimpuh disampingku, menemaniku melawan rasa nyeri. Diusapnya perutku, digosoknya punggungku, dituntunnya mengatur nafas setiap kontraksi hadir. Tak sampai 15 menit di ruang itu, beliau menuntunku kembali ke meja persalinan. Pertanda proses kelahiran segera tiba, lebih cepat dari perkiraan beliau. Mmm let's do it together adik bayii.. Papa juga menanti adik.. selalu setia menemani mama melewati detik-detik kelahiranmu, seperti juga kelahiran kakakmu dulu.

Pukul 5.50 Perawat menghubungi Sensei Saito yang akan membantu persalinanku. Pukul 5.55 Sensei datang. Hebattt... 5 menit saja dan sang dokter sudah hadir di rumah sakit ini, tepat disampingku. Peralatan bersalin mulai disiapkan. Pukul 6.00 bukaan lengkap 10, aku mulai dibimbing untuk mengejan. Oh ya.. saking sakitnya, aku kerap menjerit atau berteriak setiap kali mengejan. Bidan Yobuki mengeluarkan isyarat supaya aku bisa memelankan suaraku. Belakangan aku baru tau kalau di jepang, adalah kurang sopan apabila bersalin dengan suara kencang atau teriakan. Hihihi padahal siapa juga yang niat ya.. ga nahan euy.... Setelah 4 kali mengejan, akhirnya tepat 16 Juni 2010 06.10 JST terdengar tangisan bayi eaaa..eaaaa... eaaa... diiringi takbir papa yang sedari tadi mendampingiku, mengusap-usap kepalaku. Alhamdulillah ya Rabb. Bidan Yobuki kemudian berkata “kawaiiii”, alhamdulillah artinya anakku perempuan, dan ia pasti cantik seperti kata bidanku yang baik itu. Sehat, normal tak kurang suatu apa. Terima kasih ya Allah, Engkau Maha Baik, Engkau sebagaimana prasangka hambaMu.

Seiring lahirnya putri keduaku, rasa lega menyergapku. Tak kuhiraukan lagi sakit itu, pun tatkala sensei mulai bersiap melakukan prakarya jahit menjahitnya. Kupandangi bayiku yang merah. Perawat memberikannya padaku untuk inisiasi menyusu dini. Memang inisiasi disini tidak dilakukan dengan posisi bayi di perut ibu. Bayi langsung didekatkan didadaku. Sekali dua ia gagal meraih asiku, dan untuk ketiga kalinya.. happ.. bayiku berhasil juga mendapatkan asi pertama dari mamanya. Alhamdulillah. Setelah ia puas, kemudian perawat mengambilnya, bayiku kemudian diseka dari sisa darah, ditimbang dan diukur panjangnya. 3.296 kg dan 51 cm. Bayiku dibungkus kain hangat dan diletakkan dimeja penghangat persis disampingku. Sembari menunggu Sensei Saito selesai menjahitku, aku menatap wajah anakku. Begitu mungil dan begitu merah. Ah sayangku, lama kunanti dirimu. Lihat.. kini kau ada didepan mama.

Pukul 6.30 semua selesai. Adik dibiarkan berada dimeja penghangat itu, seolah ingin memuaskanku menatap wajah mungilnya. Kami bertiga, papa aku dan bayi diruang persalinan. Beristirahat sejenak sambil menunggu masa pemulihan dan masuk ke kamar persalinan. Sempat terjadi bleeding kembali selama masa itu. Sensei saito kembali dipanggil. Huhuhu aku masih harus merelakan diutak atik kembali, padahal nyeri belum lagi reda. Alhamdulillah semua bisa ditangani. Tak lama kulihat papa sibuk mengabadikan momen-momen kelahiran adik dengan kameranya, tatkala rasa letih menyergapku. Dan dalam legaku, pulas pun menghampiri tidurku. Terima kasih Allah atas semua kemudahan yang Engkau berikan. And.. welcome to the world, Sakura Aisha Sachiara. Nama yang papa mama berikan kepadamu. Semoga engkau secantik Sakura, sholehah dan cerdas seperti Aisha, selalu bahagia dan bersinar sepanjang hidup dan akhiratmu nanti seperti makna Sachiara. Amiin

Menanti Lahirnya Adik

Di akhir masa kehamilan keduaku, terasa berbeda dengan masa-masa disaat aku mengandung abhi dulu. Dulu hampir setiap hari dilewatkan dengan browsing berbagai artikel mengenai kehamilan, melahirkan dan menyusui, mengunjungi klinik laktasi sebagai bekal asi eksklusif perdanaku saat itu, ditambah perasaan deg-degan acap kali membayangkan proses melahirkan nanti, normalkah, sakitkah, bagaimana bayinya nanti, beribu pertanyaan berkecamuk kala itu. Kali ini di akhir masa kehamilan kulewati dengan santai, menikmati hari-hari sebagai ibu rumah tangga dirumah, bercengkerama bersama kakak abhi, membaca ulang koleksi artikel kehamilanku dulu. Rindu juga rasanya untuk hunting kelapa ijo, bubur kacang, ikut senam hamil sambil curhat bareng ibu-ibu berbadan dua lainnya dan yang dulu tak pernah dilewatkan tentu saja, apalagi kalau bukan… belanjaaaa. Ibu-ibu mana yang ga gatel cuci mata pernak-pernik bayi yang lucu-lucu itu siih. Ah ternyata hamil itu memang menyenangkan sekaligus merindukan juga ya...

Memasuki minggu ke 38, sesekali kontraksi ringan mulai kurasakan. Aku menduga waktu melahirkan sudah dekat, mengingat abhi dulu lahir persis di minggu ke 38. Apalagi dokter kandunganku saat kontrol terakhir mengingatkan bahwa adik mungkin akan lahir lebih cepat dari due date seharusnya. Tas siaga sudah disiapkan, tinggal berangkat bila waktunya tiba. Tunggu punya tunggu, minggu 38 berlalu dengan status masih di bukaan 1. Memasuki minggu 39, tanda-tanda persalinan tak juga datang. Hingga satu minggu berlalu, si adik masih betah didalam kandunganku. Minggu 39 berlalu dengan status masih juga di bukaan 1. Ah mungkin belum waktunya si adik lahir. Aku harusnya cukup tenang mengingat kondisi adik baik-baik saja, lagipula disini melahirkan diatas week 40 adalah hal yang biasa, dan dokter pun biasanya akan menunggu sampai tanda-tanda kelahiran terjadi dengan sendirinya, secara alami. Sementara di Indonesia, cukup banyak dokter yang akan menyarankan caesar begitu melewati minggu 40, bahkan tanpa indikasi resiko dalam kehamilan itu sendiri. Masih kuingat senyum di wajah Sensei Saito saat aku menanyakan kapan si adik bakal lahir. Rentetan pertanyaanku dijawab hanya dengan senyuman khas di wajahnya dan satu patah kata “as soon as possible.” Hihihi ya iyalah.. bukankah kelahiran sudah ada yang mengaturnya kenapa pula aku harus mendikteNya. Tertawa aku membayangkan kekonyolanku sendiri. Kekhawatiran yang tak berdasar.

Well, di akhir masa kehamilan ini aku perbanyak dengan berjalan kaki, kemana saja asalkan kaki dapat terus melangkah. Berharap kontraksi segera hadir. Tak lupa tentunya memanjatkan doa padaNya akan kesehatan janin dalam kandunganku dan kelancaran proses kelahiranku nanti. Amiin.

Jumat, Juni 04, 2010

Bunga untuk Adik

Hari yang cerah di hiroshima ketika suatu pagi kakak bertanya padaku,” mama, apa anak puan suka mobing?” Aku menatapnya sekejap saja, ia tampak menunggu jawabanku sambil memainkan mobil-mobilan tamiya miliknya di ruang tengah rumah. Aku menjawab sekenanya, tanpa pikir panjang. Toh paling juga ia hanya iseng bertanya seperti biasanya, untuk memuaskan hasrat ingin tahunya saja. “Anak puan juga ada yang suka mobil, tapi anak perempuan mungkin lebih suka boneka atau bunga” ujarku ringan sembari meneruskan menyetrika setumpuk pakaian hari itu. Senyap.. Artinya ia puas dengan jawabanku. Tampak dia kembali bermain dengan mobilnya. Hanya berselang hitungan detik tatkala ia berujar lagi,”mama, kalo anak laki-laki suka apa ma?” tatapnya serius padaku.

“Mmm, anak laki-laki mungkin lebih suka mobil-mobilan atau main bola,”jawabku setelah mengingat hal-hal yang sangat disukai kakak.
“Iya ma, abhi suka main bowa. Abhi juga suka mobing, suka semuanya,”senyumnya lantas mengembang.

Tak lama si bocah bertanya lagi,”kenapa anak puan suka bunga ma?” Aku tersenyum mendengar rentetan pertanyaannya yang tiada habis. Khasnya anak kecil seumurannya. “Karena bunga itu indah. Mama juga suka bunga” jawabku seadanya. Jujur aku hanya mengutarakan jawaban yang terlintas dibenakku saat itu. Toh aku fikir ia sendiri belum dapat mencerna secara dalam maksud semua pertanyaannya pun dengan jawabanku.

“Ma..,”panggilnya membuyarkan konsentrasiku yang buru-buru ingin menuntaskan setrikaan pagi itu. “Ada apa sayang?”tatapku padanya.
“Abhi mau main diwuang ya, abhi mau panjat pohon,”pintanya.
“Boleh, tapi kakak hati-hati ya panjatnya. Nanti jatuh pasti sakit,” kutatap ia dan kulihat senyum tersungging diwajahnya.”Ya mama, abhi anak waki-waki, abhi akan hati-hati.”

Setengah berlari dia membuka pintu di kamar kami menuju halaman depan, membiarkan hembusan angin segar menyeruak meniup lembut kamar kami pagi itu. Segera kupindahkan posisi menyetrikaku ke dalam kamar, agar aku bisa mengawasinya saat bermain di halaman. Tampak ia bermain riang di pohon itu, bergelantungan menirukan tarzan beraksi. Ah kakakku sayang, tampak senangnya kamu nak.

Tak lama, ia menghampiriku. Tangannya tampak tersembunyi dibelakang badannya. Senyum isengnya muncul. Hmm aku penasaran, apa yang ia lakukan kali ini ya. Tiba-tiba...

“Ini buat adik puan abhi ma,”ujarnya sambil menyodorkan setangkai bunga kecil berwarna kuning ke perutku.

Takjub kutatap ia dalam-dalam kali ini, kuraih bunga itu yang tampak sangat indah tatkala ia berkata sambil tersenyum lebar sekali,”adik pasti sukaaa sekawi ya mah.”

Oh Tuhan.. sungguh ini di luar dugaanku. Bagaimana bisa kakak berfikir sampai seperti itu. Belum lagi hilang takjubku, tatkala ia menghilang dan kembali menghampiriku dan berkata, ”Naa.. yang ini buat mama” lagi-lagi ia menyodorkan setangkai bunga yang sama dengan mahkota yang lebih besar padaku.
Ah kakak, kamu membuat mamamu ini tak mampu berkata-kata. Lirih kuucapkan, “Terima kasih sayang. Mama dan adik suka sekali” kucium keningnya dan ia pun melanjutkan bermain di halaman.

Tumpukan setrikaan tidak lagi menarik minatku saat itu, kuhentikan pekerjaanku dan kutatap ia bermain. Rupanya dibawah pohon tempatnya bermain dan disekitar jendela kami tampak tumbuh beberapa tangkai bunga kecil. Yang tak nampak indah karena tertutup ilalang yang cukup tinggi. Juga karena helai bunga itu yang tak seberapa banyak. Namun ia menarik perhatian kakak disela-sela waktunya bermain.

Yap, itulah awal hari yang indah bagiku. Kini, hampir di setiap hari bila ia bermain di halaman itu, kakak akan memetik bunga untuk adik, dengan kata-kata yang sama, “Ini untuk adik. Adik pasti suka.” Ah indahnya kata-kata itu, jauh melebihi indahnya sebuah bunga. Pun dibanding bunga-bunga yang papa kirimkan untukku.

Ya hari itu menjadi pelajaran berharga buatku. Adalah benar bahwa anak akan belajar banyak hal dari yang sesuatu yang kecil, sesuatu yang terlihat sepele bagi kita, namun bermakna sangat dalam baginya. Juga betapa mudahnya mengisi jiwa seorang anak dengan kebaikan apabila kita bisa memanfaatkannya dengan bijaksana. Betapa orang tua kadang merasa direpotkan untuk mengajarkan sesuatu sedari dini, padahal justru hasil yang akan dipetiknya dikemudian hari jauh-jauh lebih besar.

Terima kasih sayangku. Adikmu pasti sangat suka sayang, kubayangkan senyum adik diperutku. Mama dan adik pasti akan selalu menantikan petikan bunga darimu setiap harinya. I love u Abhi .

Senin, April 12, 2010

Abhi Ahmad Alizachrei, anakku..

Pap, Tulisanmu mama ijin posting diblog mama ya.. Mama suka baca tulisan papa :)
=============================================

Terharu dan bangga...
Ya itulah yang kurasakan setiap kali bertemu dengan buah hatiku, Abhi. Karena jarak dan waktu yang memisahkan kami selama ini, hingga saat aku bisa bertemu dengannya, bermain bersamanya, selalu kutemukan sesuatu yang baru dalam perkembangan dirinya. Selain permainan gulat, sepakbola, menerbangkan layang2, berenang bersama, memanjat dan monster2an menjadi permainan favorit kami berdua, Abhi kecilku sekarang sudah pintar untuk mengungkapkan apa yg ada didalam pikirannya. Mungkin bagi sebagian orang, ungkapan2 atau kata2nya itu terasa biasa, tetapi bagiku, ungkapan yang keluar dari mulut kecilnya itu, begitu luar biasa dan kadang membuatku tertegun. Berikut ucapan2nya yang kudengar saat aku diberi kesempatan pulang ke Indonesia beberapa hari yang lalu.

+ Selamat tidung (tidur) mama, selamat tidung papa, abhi sayang mama, abhi sayang papa...(diucapkan spontan selepas kami berdoa bersama seblum tidur, hampir di setiap malam)

+ Papa, hati-hati ya naik motongnya (motor), di jalan banyak mobing (mobil), banyak motong (motor), jangan ngebut2, pewan2 (pelan2) saja....assawammuawaikum, waaikumsawam...(diucapkan setiap kali abhi melihatku akan pergi dengan naik motor keluar rumah)

+ Papa, naik motongnya pewan2 saja ya, jangan ngebut2..bismiwahiwohmaniwohim..(diucapkan saat kami berboncengan saat mengantar mama pergi kerja di pagi hari)

+ Papa, nanti abhi kenawin (kenalin) ya sama teman2 abhi disekolah..(diucapkan saat aku akan mengantarnya pergi ke playgroup tempatnya bersekolah)

+ Papa, ada yg bisa abhi bantu..? (diucapkan saat dia melihatku sedang sibuk menurunkan barang dari mobil, dan ketika aku memintanya untuk membawa masuk barang tsb kedalam rumah, abhi pun dengan semangat membawanya masuk kemudian kembali berlari kearahku dengan wajah yang riang sambil berkata 'papa, ada lagi yg bisa abhi bantu..?

+ Papa, ada abhi dimata papa...(diucapkan saat dia duduk dipangkuanku sambil memandangku dalam2)

Selain itu, kadang ketika dia bersin, dia spontan mengucapkan alhamdulillah, atau ketika kami asyik memukul2 drum mainan, suasana pun kemudian berubah serasa takbiran disaat lebaran. Selain itu, ada ungkapan yang sering dia ucapkan, apalagi ketika melihat mamanya takut2 menghadapi sesuatu. maka dia akan berkata 'Abhi bewani (berani), abhi kan anak waki2..(laki2)'

..dan disaat-saat terakhir dimana aku harus kembali meninggalkan rumah itu, kudengar dia bersenandung sendiri, sambil menggambar diriku, dirinya dan mama di whiteboard..
'Papa ga ada, abhi tidak senang, papa ga ada, monsternya ga ada...'

Jumat, April 09, 2010

USG 4 Dimensi

Menjelang berangkat ke Hiroshima untuk proses kelahiran disana, aku mulai menyiapkan sejumlah berkas medis terkait kesehatan aku dan adik bayi bulan demi bulan kehamilan. Sebenarnya bukan suatu keharusan, namun rekam medis yang lengkap tentu dapat sedikit banyak berguna untuk merunut riwayat kesehatanku dan adik nantinya, apalagi kami baru akan menginjakkan kaki disana saat kandunganku sudah 7 bulan lebih.

Berbekal maksud itu, akhirnya aku memutuskan untuk melakukan USG 4 dimensi di usia kandungan 7 bulan ini untuk melihat kondisi adik lebih jelas. Searching sana sini, info yang didapat USG 4 dimensi di bandung bisa dilakukan di RSIA Hermina Pasteur atau di RS Santosa Internasional. Ada juga USG 3 dimensi di beberapa RS lain. Sayangnya USG 4 dimensi di RS Santosa tidak bisa dilakukan karena sedang ada kerusakan alat. USG 3 dimensi di RSB Harapan Bunda yang terdekat dengan rumah pun sedang tidak bisa dilakukan karena dokter kandungan yang punya alat sedang cuti :D Finally, opsinya tinggal di RSIA Hermina dengan dr. Hanny Rono Sulistyo, SpOG. Fiuuuhhh.. mendengar nama dr. Hanny Rono, sang dokter tenar, sudah terbayang betapa akan membosankannya menunggu antrian yang padat merayap. Belum lagi jadwal praktek beliau malam hari dan tentu jauhnya itu lho dari rumah. Huhuhuhu…. Tapi apa boleh buat, akhirnya kamis malam 010410 aku mendaftar juga untuk USG 4 dimensi ke dr. Hanny Rono, dengan pertimbangan esok Jumat libur sehingga lelah malam itu akan terbayar dan hutang waktu bersama abhi bisa dilunasi esok hari. Dan mumpung si papah kebetulan sedang pulang ke Indonesia, sehingga bisa bersama-sama intip adik bayi di perutku.

Sore pukul 16.30 papah sudah nongkrong di RSIA Hermina untuk pendaftaran, walaupun praktek dimulai baru pukul 7. Berharapnya sih bisa dapat nomor antrian 1, namun sayangnya papah dapat nomor antrian 3. Tapi ya masih mending lah.. perkiraanku bila praktek mulai jam 7 malam, maka dengan nomor antrian 3, giliranku kira-kira pukul 8 malam. Jadi pukul 9 sudah bisa sampai di rumah dan bertemu kakak yang semoga belum tidur. Sayang disayang, rencana tinggal rencana. Datang ke hermina pukul 7.30 malam ternyata dokter belum datang, huhuhu…. Jaman sekarang ini beginilah nasibnya pasien. Pukul 8 dr.Hanny Rono datang. Tapi oo.. ouw.. kenapa beberapa orang langsung masuk ruangan pak dokter ya, entahlah ini termasuk antrian atau ada jalur tersendiri. Lama menunggu dengan hilir mudik orang yang memasuki ruang praktek, sepertinya mulai ada yang janggal. Rasanya antrian pasien sudah melebihi 10 orang, namun namaku belum juga dipanggil. Hei… antrian saya nomor 3!

Jarum terus bergerak.. kali ini menunjuk pukul 9 malam. Gelisah mulai menghampiriku. Tuktaktiktuk.. Jarum pendek jam menunjuk angka 10, Astagfirullah… betapa melelahkan perjuangan menunggu untuk bertemu seorang dokter ya.. Tak sabar, aku pun mulai bertanya-tanya. Ternyata diruang praktek dr. Hanny ada 3 pintu, satu pintu KB, satu pintu konsultasi, satu pintu USG. Namun yang membuatku heran, mengapa antrian di pintu USG itu juga sudah melebihi 5 orang lebih. Akhirnya kuberanikan diri bertanya ke beberapa pasien yang sudah sering mengantri di dr. Hanny. Jawabnya membuatku bungkam seribu bahasa..

“Iya bu, disini memang kadang antriannya ga urut begini. Untung-untungan juga ya bu, tergantung dokternya saja siapa yg dipanggil lebih dulu. Biasanya sih ga sekacau ini banget, cuman mungkin karena besok libur, jadi banyak sekali pasiennya.”

Haaaahhh bengong langsung menghampiriku. Jawaban ibu yang sudah menjadi pasien langganan si dokter langsung memukulku telak. Aiiih masa sih seperti ini. hiks hiks kami kan sudah rela mendaftar lebih awal, menanti antrian yang panjang adalah membosankan dan melelahkan apalagi bagi pasien yang tidak sabaran seperti aku ini xixixixi... Kalau saja disesuaikan dengan budaya antri, tentu tidak ada pasien yang merasa dirugikan. Tidak peduli relasi, pasien langganan, pasien baru, semua harus diberlakukan sama dan adil. Hiks hiks… Suamiku yang sedari tadi sabar menunggu ternyata mulai protes juga dengan model antrian disini, yang kami rasa kurang fair. Wajar saja, tanpa penjelasan pada pasien, rasanya kami berhak berasumsi malam itu. Semoga saja didalam nanti, pelayanannya memuaskan sehingga bisa mengobati kekecewaan kami hari ini. Kucoba menanyakan pada Ibu di bagian pendaftaran, tapi si ibu hanya bilang, “Iya lama ya.. sabar aja ya. Saya juga tidak tahu, tergantung dokter saja,” ucapnya ringan.

Ah.. penantian malam itu rasanya sangat lama. Hampir pukul setengah 11 lewat baru namaku dipanggil. Begitu masuk ruangan, aku langsung diminta tiduran. USG mulai dilakukan. Entahlah karena sudah lelah menunggu, atau aku sudah terlalu banyak berbekal hasil browsing mengenai si dokter, sehingga malam itu joke-joke si dokter terkesan garing. Maaf ya dok.. :D

“Wah.. ini pasti bikinnya ga pake vitamin B ya..”ujar dokternya.
Batinku dalam hati, hehehe maaf dok tapi aku udah hapal jawabannya.
“Maksud dokter Bismillah ya.. kalo soal itu Insya Allah ga lupa dok,”ujarku datar.

Mungkin dr. Hanny juga lelah ya malam itu, karena beberapa pertanyaanku terkait kondisi adik bayi malah tidak terjawab tuntas. Sang dokter sibuk melihat hasil USG. Sebenarnya penjelasan hasil USG juga tidak terlalu memuaskanku, karena dokternya cukup terburu-buru dan lebih fokus menampilkan wajah adik bayi. Sementara aku berharap dapat dijelaskan mendetil mulai dari ujung kepala, hingga ujung kaki. Bagaimana organ-organnya, tulang belakangnya, otaknya, dan seterusnya. Lelah malam itu membuatku tidak bertanya banyak. Enggan rasanya untuk mengulangi pertanyaan yang sama.

Akhirnya pukul 11 lebih, selesai sudah USG 4 dimensi terhadap adik bayi. Yang melegakanku malam itu adalah kondisi adik sehat walaupun posisinya masih sungsang. Secara mata orang awam, sepertinya ada sedikit lilitan tali pusar di lehernya, tapi sayangnya dokter tidak menjelaskan hal itu sewaktu aku tanyakan. Wajah mungilnya tampak dari samping. Lucunya.. Beberapa menit menunggu, akhirnya CD dan resume kesehatan adik selesai. Lumayan, resume sudah dalam bahasa inggris sesuai permintaan kami sehingga nanti dapat dipahami oleh dokter-dokter di Hiroshima sana. Lelah dan mengantuk mengakhiri singgahnya kami di rs malam itu. Dengan mengendarai motor, aku dan suami menembus malam yang mulai pekat. Cukup khawatir juga karena jalur yang kami lalui melewati beberapa jalur yang rawan geng motor. Jam sudah menunjukkan pukul 12 malam setibanya dirumah. Fiuuh Alhamdulillah aman. Kakak sudah pulas. Maaf ya kak, mama dan papa pulang malam sekali. Kakak pasti lelah menunggu kami ya.

Sampai dirumah, bersih-bersih, makan. Aku mulai membuka file resume dokter tadi, ingin membaca hasil resume yang tertulis disana, sekaligus menatap foto adik lagi. Aiiih.. ternyata lelah membuatku tidak meneliti terlebih dahulu resume pemeriksaan tadi. Ada beberapa keterangan yang salah tertulis disana, berbeda antara hasil capture screen dengan resume tertulis. LMP atau HPHT tertulis 11 Juli 2006?? Haaaa.. kok bisa.. harusnya kan 11 September 2009. Jauh sekali kesalahan tulisnya. Satu lagi, dibagian kesimpulan, usia kandungan tertulis 19 minggu, padahal harusnya 29 minggu. Ihiksss…. Membayangkan harus kembali lagi kesana, mengoreksi resume itu.. Oh tidakkk…. Tidak lagi.. Sepertinya terpaksa datanya aku coret tangan saja.

Well honestly speaking, aku akan berfikir ulang untuk antri konsultasi di dr. Hanny. Bukan karena dokternya kurang ahli, karena itu sih tidak perlu diragukan lagi, beliau adalah salah satu dokter kandungan ternama di Bandung, keahlian sudah pasti oke dong. Tapi karena antriannya, jam prakteknya, jauhnya rs dari rumah, dan konsultasi yang jadi kurang nyaman karena konsentrasiku dan badan yang terlampau lelah tak mampu menyaingi pikiranku yang penuh pertanyaan, membuatku jelas harus mempertimbangkan ulang untuk kembali menjadi pasien langganan pak dokter. Salut juga buat ibu-ibu yang betah menunggu. Melihat antrian kemarin, sepertinya tembus di atas jam 12 malam praktek sang dokter adalah suatu hal yang sudah sangat-sangat biasa. Wuiih.. sepertinya aku lebih baik antri ke dokterku semula sajalah, dr. Anita Deborah, SpOG.


Happy Anniversary Honey

Selamat malam sayang..

Empat tahun yang lalu, masih ingatkah kau saat kita bersumpah mengikat janji dihadapanNya? Masih kuingat saat tanganmu menjabat jemari ayahandaku tercinta, tepat di saat sang waktu merangkai angka membentuk deretan indah penuh makna, 020406. Memadukan ibu jarimu dengannya. Mengucapkan ijab dengan lantang. Berjanji menjagaku dan keluarga kecil kita nanti.

Empat tahun berlalu. Dan kini, menatap matamu masih sama seperti sepuluh tahun yang lalu ketika pertama kali kita bersama. Sikapmu, perhatianmu, cintamu tidak ada yang berubah. Kalaupun ada yang berbeda, kini hadir abhi dan calon adik bayi diantara kita. Menjalani hari bersamamu membuat semua terasa begitu ringan.

Papa sayang, terima kasih.. terima kasih atas semua ketulusanmu menyayangiku, memahami apa adanya diriku. Tanpa syarat, tanpa tuntutan. Membuatku nyaman menjadi diriku sendiri. Tanpa harus bertutupkan topeng kepalsuan, tanpa harus menyiksa diri dengan menjadi sosok yang bukan aku. Aku adalah aku, lengkap dengan segala kekuranganku. Tanpa pernah engkau bermaksud mengubahku, mempertanyakan segala kekuranganku, tanpa kuharus selalu menjadi sempurna dimatamu setiap detik setiap waktu.

Papa tercinta, terima kasih.. terima kasih atas cintamu pada kami, mama, abhi dan adik bayi. Terima kasih telah menghadirkan hari-hari yang berwarna. Penuh canda, penuh tawa. Disaat suntuk menodai pikiranku, disaat penat menyisakan guratan di keningku, disaat airmata membasahi wajahku, sesungging senyum mampu menyinggahi sudut bibirku, karenamu.

Tuhan, terima kasih.. terima kasih atas semua karuniamu kepadaku dan keluarga kecil kami. Tak terhitung nikmat dan kemudahan yang Engkau berikan. Kini kami hanya bisa memohon kepadaMu, Sang Maha Penentu, untuk menyatukan kami selalu dalam kebersamaan. Berkahi keluarga kami penuh cinta hingga nanti saatnya tiba. Amiin ya Rabb.

Malam ini lantunan endless love menemaniku. Menyisakan rindu tak berbatas padamu..

My love,
There's only you in my life
The only thing that's bright

My first love,
You're every breath that I take
You're every step I make

And I
I want to share
All my love with you
No one else will do...

And your eyes
Your eyes, your eyes
They tell me how much you care
Oo yes, you will always be
My endless love

ps. Selamat hari ulang tahun pernikahan papa.. maafkan ya pagi tadi mengawali mud dengan tidak baik ^_^

Rabu, Maret 24, 2010

Sayang Mama

Semalam hujan turun begitu derasnya. Jam sudah menunjukkan pukul setengah tujuh malam. Seperti biasa mama kehujanan sampai di rumah walaupun sudah bersenjatakan jaket dan payung lengkap. Brr.. dingin.. enaknya langsung ganti baju, shalat, bersih-bersih biar anget sedikit. Tak lama.. beres deh semua, hmm terus ngapain ya.. Wah ternyata kakak makan malamnya belum habis. Sambil menyuapi kakak abhi makan, mama memperhatikan sudut-sudut kamar. Ah.. ternyata bocor lagi. Ember-ember mulai dipasang, menampung bocornya hujan yang rembes ke kamar. Sesekali percikan air hujan pada sisi ember turut mengenai sudut tempat tidur kami. Duuh dingin begini enaknya masuk dalam selimut deh sambil peluk kakak, pasti anget :D

Setengah jam kemudian hujan berhenti. Mama sudah selesai menyuapi kakak makan. Saatnya membereskan ember-ember dan sisa rembesan hujan yang membasahi lantai kamar. Tapi kok males ya. Mama melangkah enggan, mengambil kain pel dengan gontai. Ember-ember ditumpuk dan mulailah kain pel bergerak kesana kemari menyapu semua titik air di lantai. Tampak kakak abhi memperhatikan mama dari depan pintu kamar.

“Kakak jangan kesini dulu ya nak, mama sedang ngepel. Lantainya licin, nanti kakak jatuh.”
“Iya mama, mama ati-ati ya nanti jatuh,” ujarnya sambil memegangi balon spongebobnya dengan riang.

Kosrek.. kosrek… kain pel mulai menjalankan lagi tugasnya membersihkan semua sudut lantai yang terkena rembesan air hujan. Tiba-tiba…

“Haduuuuuuuhhh…,”jeritku menahan sakit sambil meringis memegangi jemari kiri. Rupanya lantai yang cukup licin membuat jemariku menelusuk masuk ke kolong meja yang terbuat dari kayu. Membuat jemari ini beradu dengan sebagian pinggiran kayu yang sudah tidak rata. Menyisakan robekan kecil di jari tengah tangan kiriku. Tampak tetesan darah mulai merembes dari luka itu. Sambil meringis, kucoba memencet lukanya agar darah dan sisa-sisa kayu yang mungkin ada dapat keluar. Ternyata kakak yang sedari tadi memperhatikanku dari ujung pintu, refleks mendekat.

“Mama kenapa ma.. mama tidak apa-apa? cakit ma? cini abhi bantu ma,”tersirat cemas di wajahnya.
“Tidak apa-apa kak, mama luka sedikit.. tapi masih sakit. Tolong ambilkan tisu kak, lihat ini ada darahnya. Mau mama bersihkan.”

Tanpa komentar langsung kakak berlari kecil menuju kotak tisu di pinggir tempat tidurku.

“Ini ma.. Abhi bantu ya ma,”ujarnya menyerahkan selembar tisu kepadaku sembari mencoba meniup-niup lukaku yang tertutupi sedikit darah.

Kuambil tisu itu, segera kuseka darah di jemariku. Huhuhu.. nyeri sekali rasanya. Sambil menahan nyeri aku sibuk memperhatikan lukaku dengan seksama, meyakinkan tak ada sisa kayu yang masih tertancap disana. Aku tak memperhatikan kakak yang ternyata sudah tidak berdiri disampingku. Dimana ya dia tadi. Oh rupanya disana. Kakak tengah berdiri tepat di depan kotak obat di sebuah meja di samping lemari kamar kami.

“Ma, macih cakit ya ma… aduuuh kita kacih obat apa ya ma. Mama tahan ya ma.. obatnya mana ya,” wajahnya tampak panik, matanya tertuju pada kotak obat tanpa menoleh padaku dan mulailah jemari kecilnya membuka satu per satu laci kotak obat tanpa tahu harus mengambil obat yang mana untuk mamanya. Begitu terus berulang-ulang, laci dibuka dan ditutup lalu lanjut ke laci atasnya, mengambil beberapa obat dan meletakkannya kembali.

Aku tersenyum. Ah kakakku yang baik. Rasanya nyeri di tanganku sudah tidak ada menyisakan perih sama sekali melihat perhatiannya.

“Itu aja kak, yang botolnya kuning kecil itu kak,”ujarku sembari menunjukkan satu botol kecil tepat di kotak teratas. Kakak melihat ke arah jemariku menunjuk, dan happp… tangan mungilnya segera mengambil botol kecil betadine yang kumaksud.

“Ini ma.. tahan ya ma.. cini abhi bantu ya mama.” Tangan mungilnya membuka tutup betadine dan mulai mencoba meneteskannya ke lukaku. Aku membantunya memegangi botol itu agar tidak tumpah dan mengotori lantai. Tak lama..

“cudah ma. Macih cakit ya ma?” pelan dia meniup-niup lukaku, mengusap jemariku sambil sesekali menatapku iba.

Kuraih kepalanya, kuusap-usap rambutnya dengan sayang.

“Sudah tidak sakit, nanti juga kering lukanya. Terima kasih ya kakak. Kakak mau bantu mama, mama senang deh,” senyumku padanya.

“Hmm.. mungkin sepewtinya kita hawus pakai pleteng ma. Cupaya tidak cakit lagi, nanti pasti cembuh deh ma” ujarnya sambil berbalik dan mengambil plester di salah satu laci di kotak obat. Dibukanya plester itu dan dicobanya mengenakan padaku.

“Haduh sakit kak,”jeritku tatkala tangannya menyentuh lukaku, membuat plester itu terpasang tidak sempurna dan menyisakan nyeri di jemariku. Kubantu ia memasangkan kembali plester di tanganku.

“Na… sudah ma. Mama cepat sembuh ya ma,”senyumnya mengembang sambil tangan mungilnya mengusap-usap jemariku. Aku tersenyum menatapnya.

Ah kakakku, taukah kamu nak, malam ini bahagia sekali mama diperhatikan sebegitunya oleh anak mama ini. Seolah kini akulah yang kanak-kanak, menikmati setiap detik caramu memperhatikan, merawat dan menjaga mama. Luka kecil ini tidaklah seberapa, namun sampai begitu mengkhawatirkan dirimu.

Makasih ya kakak, mama bangga deh sama anak besar mama yang perhatian dan sayang sekali sama mamanya ini. Mama percaya kakak pasti jadi seorang kakak yang baik buat adik-adikmu nanti, melindungi dan menjaga mereka dengan sayang. Dan semoga nanti kalau mama dan papa sudah tua, kakak tetap selalu perhatian dan sayang sama kami ya kak. Love u Abhi…

Selasa, 23 Maret 2010

Selasa, Maret 23, 2010

Trimester Kedua

Alhamdulillah akhirnya mama dan adek bayi melewati trimester kedua juga. Dibanding saat mengandung Kakak Abhi dulu dan dibanding trimester pertama kehamilan adek, trimester kedua ini terasa jauh lebih berat. Aneh ya.. kalau lazimnya ibu-ibu hamil bermasalah di trimester pertama, kenapa ya mama malah bermasalah di trimester kedua. Mungkin ini yang kata orang bawaan bayi kali ya.. :)

Ujian utama buat mama khususnya di trimester ini adalah ujian emosional. Hehehe emosi mama bener-bener tidak karuan memasuki bulan keempat kehamilan. Well, mungkin karena beban pikiran dan banyaknya urusan dan kondisi fisik yang kurang prima melatari sering meledaknya emosi mama. Maklum, memasuki trimester kedua ini mama harus mengurus banyak hal sendiri, terkait masalah tanah adat yang oma beli dibandung, kontrakan yang ada aja masalahnya, sewa tanah di pemkot, pegawai yang bermasalah adalah sebagian diantara permasalahan yang harus mama selesaikan. Harus berhubungan dengan birokrasi tidak jelas, ‘uang retribusi’ di luar tarif resmi, jam kerja yang seenaknya, urusan dengan penjual yang tamak terasa sangat menjengkelkan dan benar-benar menguras emosi mama. Sewaktu papa masih ada disini, rasanya segala sesuatunya terasa lebih mudah. Sharing bersama papa, membuat segala beban menjadi ringan. Tapi sekarang kondisinya tidak sama, papa masih di jepang dan mama harus mengurus semuanya sendirian. Beberapa urusan yang biasanya diberesin sama papa, sekarang menjadi tanggung jawab mama. Sebenarnya mama sudah mencoba menyerahkan urusan ini kepada pihak ketiga, namun berbagai kendala menyebabkan mereka menyerah dan mama harus menyelesaikan semuanya sendiri. Alhasil, uring-uringan kerap menemani mama berhari-hari. Mama, menurut papa bahkan, menjadi lebih sensitif dengan taraf kesabaran yang semakin terbatas (huehehe padahal sebelumnya taraf kesabaranku sampai mana pap, sudah minim gitu kok dari sananya :D). Bahkan papa bergurau dengan berkata, “mungkin nanti anak kita sebaiknya diberi nama yang bermakna sabar, tenang atau sejenisnya ya mama.” Hehehe sampe sebegitunya ya papa. Oh iya satu hal penyesalan mama adalah satu hari di hari minggu, mama begitu uring-uringan. Fisik yang kacau dan kesal pada seseorang mengawali pagi itu, sampai terbawa ketika bersama Abhi. Alhasil hal ini menyisakan bulir di mata anakku, ketika aku tak sabar menghadapinya hari itu. Begitu ketusnya aku sampai kakak abhiku berkata,”Mama, abhi sayang mama. Mama tidak marah ya ma.” Ah penyesalan yang selalu aku ingat hingga hari ini. Dimana kesabaranku saat aku membutuhkannya. Mengingat wajah abhi saat itu, hatiku tambah sakit. Aku semakin terpuruk menyalahkan diriku sendiri. Maafin mama ya Kakak… Mama sayang Kakak..

Selain itu kondisi fisik yang sering tidak prima membuat bulan-bulan ini terasa berat. Di tri mester kedua ini, badan mama terasa begitu lemah. Jauh berbeda dengan saat mengandung Abhi dulu. Kondisi fisikku sangat prima, bahkan sepanjang 9 bulan mengandungnya, batuk pilek pun tidak berani menyinggahiku. Kini, Rhinitis alergi yang terakhir menyerang 10 tahun yang lalu kembali datang. Tidak tanggung-tanggung, sejak usia kandungan 4 bulan hingga sekarang pun rhinitis masih betah melekat dan menemani hari-hari mama. Bayangkan, hanya dengan membuka kulkas saja dan terkena hembusan udara dingin kulkas, mama bisa bersin 10 kali! Rhinitis membuat mama kesulitan bernafas karena menyebabkan tersumbatnya kedua hidung mama hampir selama 24 jam penuh, 7 hari dalam seminggu! Well, bernafas melalui mulut terus-menerus mulai terasa menjengkelkan mama. Belum lagi beratnya kepala dan telinga yang juga ikut-ikutan mampet gara-gara si rhinitis ini. Obat-obatan dari dokter, yang aman buat bumil tentunya, sudah tidak mempan mengatasinya, karena memang alergi hanya bisa ditumpas dengan menghilangkan penyebabnya. Sayangnya cuaca yang dingin dan selalu bolak balik kehujanan malah menambah parah rhinitis mama. Selain rhinitis, selesma yang ditandai dengan pilek disertai batuk hebat hingga perut rasanya berguncang-guncang dan mata berkaca-kaca sangat mengganggu mama di akhir bulan kelima. Juga nyeri punggung dan tulang ekor yang kerap linu. Berbaring telentang sebentar saja tulang punggung dan tulang ekor mama sudah senut-senut. Duduk salah, berdiri salah, baringan juga salah. Bahkan untuk sekadar berjalan pun rasanya nyeri sekali. Kontras sekali bukan, padahal sehari-hari mama harus bolak-balik naik angkutan kota dan kerap berjalan untuk menyelesaikan bermacam urusan mama. Saking lelah fisik dan emosi yang tidak karuan, mama bahkan pernah terjatuh saat mengurus tanah di kecamatan. Hujan membuat jalanan begitu licin, rhinitis yang membuat pengap hidung dan kepala tambah berat, tulang ekor yang nyeri, belum lagi banyaknya list yang harus mama kerjakan hari itu membuat mama lengah. Untung saja tangan mama masih bisa menopang badan ini, sehingga benturan badan dengan tanah bisa dihindari. Lecet di tangan mungkin tak seberapa sakit, tapi sedih sekali rasanya, mata mama berkaca-kaca saat mencoba menepikan diri di pinggir jalan. Gerimis masih saja menyirami siang itu, saat-saat dimana mama sangat merindukan papanya abhi yang biasanya selalu membantu meringankan beban mama, papa yang selalu ada untuk mama. Pap, I miss u so much honey..

Menutup bulan keenam, aku mulai berdamai dengan segala kondisi ini. Alhamdulillah semua urusan mulai satu persatu selesai, nyeri punggungku pun berhasil diatasi walaupun kerap harus nyetok bantal dikantor :D Dan lepas dari rhinitis yang masih mendera, yang paling membuat aku bersyukur sekali adalah emosiku yang mulai kembali stabil. Terima kasih ya Papa, atas curahan semangatnya yang tak pernah bosan papa ucapkan. Mendengarkan omelan-omelan mama yang ga habis-habis, xixixixi ^_^

Oh iya.. sebenarnya banyak hal juga lho kemudahan dan hal yang menyenangkan di trimester ini. Buktinya mama tetap bisa nemenin bie jalan-jalan tiap weekend, berenang berdua, sepedaan walaupun perut udah gendut banget. Apalagi kalo kakak mulai ngambek dan minta gendong mama. Haduh haduh berat kak, mama udah susah payah nih mo gendong kakak. Alhamdulillah adik kuat ya Nak. Di trimester ini pula Allah mengabulkan doa mama dan bie selama ini. Supaya kami bisa segera berkumpul kembali bersama papa, jadi keluarga yang utuh kembali. Yeyyyyyy… akhirnya mama dan bie bisa nemenin papa ke saijo. Alhamdulillah.. Allah memang maha baik. Ijin kantor yang sempat membebaniku akhirnya keluar juga, walaupun permohonan cuti sempat tertahan cukup lama oleh HR. Sekali lagi terbukti.. tidak ada yang tidak mungkin kalau kita mau bermimpi dan mengusahakannya. Visa sudah beres dan tinggal di ambil aja ke kedutaan, tiket papa yang booking. Check list sebelum berangkat tinggal mendapatkan ijin tertulis dari dokter kandungan dan data-data rekam medis selama kehamilan, supaya mempermudah selama disana nanti. So far so good, dokter dan rumah sakit sudah bersedia memberikan supportnya untuk perjalananku nanti. Dan list terpenting nanti adalah menyiapkan fisik untuk perjalanan yang bakal cukup lama, total nyaris 20 jam sepertinya, start dari bandung hingga sampai saijo. Kalau kata abhi menirukan dora the explorer.. “Untuk menuju rumah papa.. kita harus melewati bis bandara, pesawat, pesawat lagi.. kereta.. kereta lagi.. rumah papa. Dan begitulah cara kita sampai di rumah Papa.. Yeyyyyyy.”

Alhamdulillah satu per satu selesai. Senangnya.. Mengawali trimester terakhir ini, semoga semua akan baik-baik saja seperti rencana kami sebelumnya. Mama ingin menjalani hari-hari trimester akhir dengan tenang, menikmati jadi ibu rumah tangga dulu, menikmati kehamilan ini hingga tiba saatnya melahirkan nanti, bersama papa dan abhi tentunya.. Amiin..

Minggu, Maret 07, 2010

Kakakku Sudah Besar

Kamis, 4 Maret 2010

“Mah, abhi mau tidung disini aja ya.. abhi mau bobo cendiyi ma. Anak becang bobo cendiyi kan ma?” ujar abhi sambil mengukir senyum diwajahnya malam itu.

Aku tersenyum mendengar pintanya malam itu. Beberapa malam yang lalu dalam dongeng sebelum kami tidur, aku memang bercerita padanya mengenai Polly si anak beruang kecil yang tidur bersama mamanya. Ceritapun ditutup dengan pesan bahwa anak besar harus mandiri, termasuk tidur sendiri. Tak kuduga dalam waktu satu hari saja abhi sudah meminta untuk tidur sendiri, seperti Polly. Maklum saja, selama ini kami selalu tidur bersama, apalagi sejak papa sekolah jauh di Jepang, abhi-lah yang selalu menemaniku. Momen-momen sebelum tidur adalah momen yang selalu kami nantikan, momen mencurahkan kasih sayang. Kerap abhi tidur sambil merangkulku. Kadang, ketika ia tak kunjung bisa tidur, biasanya dia akan menghujani wajahku dengan ciumannya, menggelitik kakiku hingga menempelkan keningnya di keningku. Ketika aku berbalik punggung pun, dia terbiasa menyentuhkan kakinya dibadanku. Suatu sugesti yang menenangkan tidurnya mungkin, meyakinkan bahwa aku selalu ada disampingnya. Dan malam itu, kakak abhi tersenyum lebar seolah yakin dengan tekadnya untuk tidur sendiri.

“Kakak yakin mau tidur sendiri?”tanyaku tak percaya.
“Iya ma.. abhi dicini aja. Mama disana ya..”

Kuusap kepalanya.. lantas aku beranjak merapihkan tempat tidur kecil itu. Biasanya tempat tidur itu hanya menjadi tempat tumpukan bantal-bantal dan selimut. Kadangkala menjadi tempat tidur papa juga tatkala ranjang ini terasa sempit untuk kami bertiga. Ya, memang kasur kecil itu masih berada dalam satu kamar denganku, posisinya pun masih menempel diujung tempat tidurku. Namun posisi tempat tidurku yang lebih tinggi, membuat kasur itu seperti tenggelam. Aku tak lagi bisa menatap wajah abhi dari tempatku tidur, kecuali aku mengubah posisi tidur persis disampingnya. Tapi itu nanti menggugurkan niatnya yang ingin mandiri.

Ketika kakak mulai merebahkan diri dikasur itu, aku pun mulai merebahkan diri diranjang yang semula biasa kami tempati berdua. Aku mencoba menghitung dalam hati, berapa lama kakak bisa bertahan tidur sendiri disana. Dugaanku, dia akan bangun dari kasur itu dan pindah ke sampingku, dan seperti biasa menempel erat padaku hingga habis malam itu. Satu menit… lima menit… sepuluh menit.. Hei.. ternyata dugaanku salah. Kakak masih ada disana.. dikasur itu. Hening.. aku mencoba diam, menghargai tekadnya yang sedang berusaha untuk mandiri. Malam itu, berpuluh kali dia memanggilku. Entah hanya sekadar bertanya “Maa?” untuk sekadar mendengar suaraku, meyakinkannya bahwa aku masih ada didekatnya, atau ungkapan “Selamat tidur mama”, “Ma, abhi sayang mama” yang diucapkannya pelan sembari memeluk guling kecilnya, tanpa melihat padaku, tanpa bangun dari kasur itu.
Satu jam pun berlalu, kakak terlelap dalam tidurnya. Beberapa kali ia terlihat tampak gelisah dalam lelapnya, dari mulut kecilnya terucap “Maa..”. Kudekati ia, pelan kubisikkan ditelinganya “Ya Nak..” dan tidurnya pun kembali pulas. Ah malaikat kecilku, mama bangga padamu. Pelan kutarik selimutku, sungguh malam ini terasa asing tanpa abhi disampingku.
----

Malam keesokan harinya tatkala aku sedang merapihkan tempat tidurku, abhi mendekatiku dan berkata, “Ma.. abhi mau bobo disini lagi aja. Abhi anak becang mah”ujarnya bangga.

Entah mengapa terbersit keenganan dalam hati ini. Namun melihat tekadnya, melihat senyum diwajahnya, tak kuasa aku menolaknya. Kutatap ia dalam-dalam, dan tak lama aku beranjak mengambil sesuatu.

“Ya boleh. Mama bangga deh sama kakak. Jadi, mama punya hadiah buat anak besar mama”aku pun mengeluarkan seprei baru berwarna biru pemberian teman, bergambar anjing-anjing kecil yang lucu-lucu.

“Ini khusus buat anak mama yang sudah besar”ujarku sambil memasangkan seprei, sarung bantal dan guling di tempat tidur kakak.

“Wowwww aciiik acikkkk…”ujarnya sambil melompat-lompat di kasur itu, kasur kakak yang sekarang tampak manis dengan seprei gogoknya.

Tak lama tempat tidur sudah rapih. Kakak bersiap merebahkan diri disana. Kami berdoa bersama, dan kucium keningnya. Kakak berkata, “Selamat tidur mama, abhi cayang deh padamu.”

“Met tidur sayang, mimpi indah ya.”
“Ya mama, mama juga ya.. mimpi yang indah.”

Jarum dinding baru berpindah 5 menit dari angka 9, dan kakak sudah pulas. Malam itu tidurnya sangat nyenyak, tak satupun ia memanggilku seperti malam kemarin. Yap… tekadnya pasti sudah bulat sehingga ia mampu meyakinkan dirinya untuk bisa melewati malam itu sendiri.
----

Malam ini adalah malam ketiga kakak tidur sendiri. Sekarang menjelang tidur, kakak langsung mengambil posisi di kasur kecil itu, kasurnya. Tak lagi ia menoleh pada kasurku yang sekarang terasa begitu luas. Aku menemaninya berdoa, mencium keningnya dan langsung beranjak ke kasurku, membiarkannya tertidur sendiri. Hening sekali malam ini, kakak tampaknya sudah pulas dan larut dalam mimpi indahnya. Sementara aku.. ah.. sekali lagi perasaan yang sama menyinggahiku. Perasaan yang dulu pernah muncul ketika aku menyapih Abhi di usia 2 tahun 3 bulan, perasaan kehilangan. Jujur kuakui, sedih itu melandaku. Masih ingin rasanya aku tidur dirangkulnya, merasakan hangat dibalik tangan mungilnya, menatap wajahnya hingga kantuk menyerangku, menciumi wajahnya tanpa bosan, mengusapnya perlahan. Kedengarannya melankolis sekali memang. Well, tapi inilah yang kurasakan. Mungkin benar aku belum siap.Tapi kenyataannya.. anakku sudah besar. Ya.. kakak sudah besar, sudah bisa memutuskan sendiri keinginannya. Harusnya aku bangga, anakku sudah bisa memegang sebuah komitmen dengan dirinya sendiri. Ia tau pasti apa yang ia inginkan, dan menjalani semuanya dengan yakin.

Malam ini sms papa menyisakan bulir dipelupuk mataku, “Mama tersenyumlah.. anakmu sudah besar.”

Perlahan tapi pasti, senandung Nak milik bang Iwan menari-nari di telingaku..

Duduk sini Nak dekat pada Bapak..
Jangan kau ganggu Ibumu..
Turunlah lekas dari pangkuannya..
Engkau lelaki kelak sendiri..

Pelan kuhapus isakku. Ya.. anakku sudah besar. Kakak Abhi sudah besar.. Insya Allah, senyum akan menghiasi tidurku malam ini, janjiku dalam hati. Sabtu, 6 Maret 2010.