Catatan Lydia

Catatan Lydia
Blog ini didedikasikan untuk anak-anakku tercinta, Abhi Sachi dan Samy yang mewarnai hidupku dengan kebahagiaan. Tulisan-tulisan di blog ini menjadi saksi, betapa berartinya kalian untuk mama. Kelak ketika kalian besar nanti, memori indah yang tertulis di blog ini akan selalu kita kenang bersama. I love U Nak..


Senin, Januari 28, 2013

Memilih RS dan SPOG Bandung


Usia kandunganku minggu ini sudah memasuki minggu ke 36. Dalam hitungan minggu, mungkin dua atau tiga minggu lagi adik bayi akan segera hadir mewarnai rumah tangga kami. Beberapa hal sudah kami, aku dan papanya putuskan di bulan ini, antara lain tempat melahirkan dan dokter kandungan yang menangani. 

Selama hamil, saya lebih sering control ke dr. Anna Fachruriyah, SPOG di RS Hermina Pasteur Bandung. Nyaman saja rasanya berkomunikasi dengan si dokter yang ceria dan enerjik ini. Juga encourage beliau yang selalu positif membawa energy positif untukku, terlebih di saat-saat berat seperti ketika aku mengalami Abortus Imminens maupun campak. Namun menjelang melahirkan dalam kondisi tanpa ART dan tidak dapat mengandalkan bantuan mertua lagi, maka saya memilih untuk melahirkan di RS Al Islam saja. Pertimbangannya tentunya lokasi yang sangat dekat dari rumah. Jadi nanti Abhi dan Sachi bisa menjenguk mama dan adik bayi kapan pun. Dan kalaupun nanti terpaksa melahirkan tanpa didampingi suami karena harus menjaga anak-anak, setidaknya bolak balik antara rumah sakit dan rumah tinggal kami tidak jauh. Yaaa walaupun tentunya harus menurunkan level kenyamanan, karena SPOG pilihan, ruang rawat dan service antara Hermina dan Al Islam belum seluruhnya setara. Ya maklum saja, tariff persalinannya saja sudah cukup berbeda jauh, jadi wajar bila servicenya juga berbeda. Tapi bismillah sajalah. Yang aku harapkan dalam persalinan ini hanyalah kemudahan bagi semua pihak, agar prosesnya tidak merepotkan banyak orang.

Kembali lagi, setelah menentukan RS tempat melahirkan nanti, aku memilih dokter kandungan yang akan membantu persalinan nanti. Di RS Al Islam terdapat 6 Dokter Kandungan, dr. Sunardi, SPOG, dr Rustama SPOG, dr Aldi SPOG, dr. Delle SPOG, dr. Ani SPOG, dan dr. Annisa, SPOG. Berhubung aku lebih nyaman dengan dokter perempuan, jadi opsinya tinggal 3 dokter saja.  Dan aku memilih dr. Delle SPOG karena faktor pengalaman dan kredibilitas beliau. Namun, dr. Delle jadwal praktek dan antriannya menyulitkan aku untuk control yakni di hari Senin, Rabu, Jumat pkl 09.00-12.00. Artinya untuk control ke dr. Delle aku harus masuk setengah hari saja karena untuk mendaftar, antri dan diperiksa menyita setengah hari sendiri. Sempat beberapa kali mengunjungi beliau, aku menyerah juga. Lagi-lagi atas nama kemudahan, aku memutuskan untuk control rutin ke dr. Annisa, SPOG saja.  Beliau praktek setiap Jumat dan Sabtu sore pkl 14.00-16.00. Sabtu kemarin adalah yang pertama kalinya kami berkunjung ke dr. Annisa, SPOG. Ternyata beliau seorang dokter muda. Kalau aku taksir, usianya mungkin sebaya denganku. Tak apalah. Toh aku bisa control sambil membawa serta kedua buah hatiku sekalian. Pemeriksaan oleh dr. Annisa juga cukup detail, tidak terburu-buru. Ia menjelaskan kondisi calon buah hatiku mulai dari kepala, kondisi mata, otak, Jantung, tulang belakang, posisi tangan, kaki, jenis kelamin, letak plasenta, volume ketuban dan seterusnya. Cukup detail menurutku. Beberapa pertanyaan yang kuajukan pun dijawab cukup memuaskan. Well, so far so good.

Bismillah, semoga nanti proses kelahiran adik bayi lancar dan bisa dibantu oleh dr. Delle Heliani SPOG atau sebagai 2nd option bersama dr. Annisa SPOG. Amiiin.

Doakan ya...

Ganbatte Tanpa ART


Lama tidak meninggalkan jejak di sini. Sudah hampir satu bulan terakhir bergulat dengan rutinitas yang cukup melelahkan. Yup, mbak Ani pulang. Daan..  tampaknya tak ada gejala mau kembali lagi. Ya sudah diikhlaskan saja. Satu tahun sudah dibantu sama mbak Ani, sudah sangat bersyukur. Tanpa ART, pastinya ada suka duka. Sukanya tentu privasi di rumah lebih terjaga. Anak-anak bisa dilatih disiplin sedikit-sedikit. Abhi sudah mulai bisa bersiap sekolah sendiri, mulai bangun tidur, mandi, berpakaian sampai siap berangkat. Alhamdulillah. Berbagi peran bersama suami pun juga sudah biasa kami lakukan. Saya sibuk di dapur, suami menemani anak-anak bermain. Atau saya beres mencuci, suami menjemur pakaian. Tidak ada yang tabu dalam hal ini. Maklum saja, kami berdua kan sama-sama bekerja. Kalau semua urusan rumah tangga mengandalkan istri, tentunya akan sangat berat jadinya. Thanks to my husband  yang tanpa malu dan sungkan mengulurkan tangan menyingsingkan lengan, halah…, demi membantu meringankan beban istrinya ini J   

Naaah duka tanpa adanya asisten rumah tangga itu tentu juga ada. Bangun subuh, dengan mata masih setengah watt sudah harus masuk dapur. List pekerjaan pagi sudah menunggu, mulai dari masak air mandi anak-anak, masak menu untuk sarapan merangkap makan malam hari itu, menyiapkan bekal sekolah kakak, nyuci ompol sachi, ditutup dengan mencuci piring dan merapihkan dapur. Lalu mandi, siap-siap ke kantor dan memandikan sachi. Semua harus dilakukan multitasking kalau mau semua beres. Oh ya semau harus selesai pukul setengah 7 pagi, karena waktunya untuk mengantar kakak sekolah dan berangkat ke kantor. Pulang kantor, setumpuk pekerjaan rumah tangga masih menunggu. Mulai menyiapkan makan malam, mandi anak-anak, nyuci baju. Jemur pakaian, terakhir mencuci piring bekas makan malam itu. Setelah menemani anak-anak sikat gigi, biasanya kami akan masuk kamar tidur. Sering kali aku tertidur saat menemani mereka tidur. Namun di tengah malam biasanya aku tetap bangun untuk menyiapkan perlengkapan sekolah Abhi, pakaian dan barang-barang Sachi. Sabtu minggu ditambah lagi menyelesaikan tumpukan setrikaan pakaian. Hmm lelah? Tentunya. Apalagi dalam kondisi hamil tua yang kini sudah memasuki 9 bulan di kandungan. Tak hanya fisik danmun juga emosi kadang tersita. Namun yang paling berasa adalah  quality time bersama anak-anak dan suami yang terasa berkurang. Terkadang quality time aku manfaatkan dengan mengajak Sachi mencuci piring berdua, atau mengajak anak-anak melipati pakaian bersama-sama sebelum disetrika. Namun, sering juga aku melarang mereka menggangguku di dapur. Karena tubuhku rasanya begitu lelah untuk sekadar mengeringkan lantai yang basah karena piring yang dicuci anak-anak. Atau melarang mereka bermain kotor-kotoran karena malas untuk merapihkan rumah dan memandikan mereka yang kacau balau. Well, salah tentunya, namun apa daya terkadang lelah tak sanggup dilawan lagi. 

Yang paling berat dalam kondisi tanpa ART adalah tidak ada yang menjaga Sachi L Sementara untuk mendaftar daycare apalagi daycare incidental sekarang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Waiting listnya panjaaaaang. Kalaupun ada, terkadang tidak sesuai dengan harapan saya. Kasihan juga Sachi harus dilepas di lingkungan yang tentunya dia belum nyaman. Di saat-saat seperti ini dilema sebagai ibu bekerja selalu diuji. I’m sorry kids, wish I can do more L Sementara ini Sachi sering kami bawa ke kantor papanya. Disana terdapat ruangan anak yang tidak digunakan. Ruangan ini kami fungsikan sebagai daycare buatan. Diboyonglah kasur dan mainan Sachi. Sebagai pengasuh, pegawai fotokopi kami alih fungsikan sebagai pengasuh incidental. Toko ditutup dulu sementara. Oh ya walaupun pegawai ini tentunya asing juga buat Sachi, namun setidaknya Papa dan aku bisa bergantian mengontrol Sachi sepanjang hari. Terkadang juga bila nenek sedang ada di Bandung, Sachi kami titipkan pada neneknya. Hanya saja sekarang nenek lebih betah di Jawa nampaknya. Aku pribadi ingin sekali mendatangkan Opa dan Oma ke Bandung. Namun sayangnya Opa dalam kondisi kurang sehat sekarang, jadi aku pun tak sampai hati merepotkan beliau. Hiks hiks…

Nampaknya perjuangan mencari ART akan terus berlanjut. Hari ini saja sudah mencoba menghubungi beberapa penyalur. Juga titip dicarikan pada beberapa rekan kerja, titip pada ART teman dan seterusnya. Hasilnya masih Nihil.

Yang meresahkanku tentunya menjelang due date lahiranku nanti. Harus ada yang menjaga anak-anak ketika suamiku nanti mendampingiku melahirkan. Atau aku harus melahirkan tanpa didampingi suami? Huhuhu sedihnyaaa…. Semoga segera dikasih rejeki ART yang baik hati sebagai rejeki adik bayi, ya Nak.

So… Ganbatte Mama, Abhi, Sachi dan Papa. Perjuangan belum berakhir.

Apalah Arti Sebuah Nama


Nama adalah doa. Mau tak mau memaksa aku dan papanya anak-anak berargumen panjang mengenai nama yang akan kami berikan untuk si calon bayi. Dulu sewaktu Abhi lahir, rasanya tak sesulit ini mencari sebuah nama. Mungkin karena dulu belum ada pagar-pagar yang membatasi, jadi bebas sesuka hati.

Abhi Ahmad Alizachrei, nama putra pertama kami. Kalau namanya diartikan, maka panjaaang sekali doa mama papanya. Maklum anak pertama. Biasanya yang mendengar pun akan tersenyum dan mengucapkan “Amiiiiiiin” saking panjangnya itu doa. Abhi artinya lelaki tangguh. Ahmad artinya terpuji, kependekan dari Muhammad, Nabi kami. Ali artinya mulia. Zach artinya selalu mengingatNya, dan Rei artinya pandai bersyukur. Tuuh kan panjang kan doanya hihihi.

Sakura Aisha Sachiara, nama putri cantik anak kedua kami. Secara arti lebih singkat dibanding kakaknya. Sakura karena ia lahir di negeri sakura. Kata papanya, juga supaya anak perempuan kami pun bernama bunga seperti mamanya, Lily. Aisha dari istri nabi yang sholeha, cerdas dan berani, Siti Aisyah. Sachi dalam bahasa Jepang artinya bahagia, dan Chiara dalam bahasa Itali artinya selalu bersinar. Intinya mendoakan putri cantik kami selalu bahagia dan bersinar dalam hidupnya.

Nah yang membuat kami menjadi sulit mencari nama untuk anak ketiga ini sebetulnya karena batasan yang kami buat sendiri. Kenapa bisa? Lets see.. Papa ADI, Mama LILY, Kakak ABHI, Neng SACHI. Naaah berasa ada yang sama kah? Iya, semua nama panggilan kami berakhiran –i. Otomatis dong anak ketiga ini inginnya juga berakhiran huruf –i. Kenapa harus? Yaa ga harus sih tapi biar enak aja nyebutnya hihihi. Udah gitu si sulung Abhi sebagai kakak tertua juga mau dilibatkan dengan mensyaratkan ke mama papanya kalo adiknya nanti namanya juga harus berending –i. Biar adil, ceunah. Ya sudahlah, DEAL. Next, nama Abhi dan Sachi, total huruf di namanya kok ya sama 19. Jadi kadang iseng banget, nama panjang si calon bayi mau dipasin juga sama seperti kakak dan ayuknya. Ini sih ga mutlak, sekadar iseng emak bapaknya aja :D Ga jelas yaaa..

Yang jelas proses hunting nama untuk si bayi ini kadang jadi momen ledek-ledekan antara si emak dan si bapak yang masing-masing punya argument sendiri. Kadang lucu, kadang bikin jengkel, terutama kalau idenya ditolak mentah-mentah. Begini contohnya..

Pap : “ Gimana kalo namanya Sakti.”
Mam : “ Haaah Sakti? Ga salah tuh.”
Pap : “Bagus lagi. Kan akhirannya –I, terus kesannya kan kuat.”
Mam : “Iyaa sekalian aja nama panjangannya nanti SAKTI MANDRAGUNA yaaaaa.”

Papa manyun, mama ketawa :D

Mam : “Mending Satria aja Pa daripada Sakti.”
Pap : “ Iyee. Terus nanti nama panjangnya sekalian SATRIA MADANGKARA aja ya ma.”

Gantian mama manyun, dan papa ketawa puas. Hasilnya, dua-duanya coret dulu sementara :D

Di lain waktu, ada juga si papa yang suka banget nama Ken atau Kai. Konon asal muasalnya si papa pernah mimpi punya bayi kembar yang namanya Ken dan Kai itu, dulu sih waktu masih single. Jadinya suka aja katanya. Alasan yang tak nampak kuat.

Pap : “Ken aja ma, atau Kai. Kan akhirannya –I tuh.”
Mam : “Ah ga mau, nanti kalo udh gede, anak-anak itu suka pada ledek-ledekan di sekolahnya. Nanti si bayi namanya diplesetin kan kasian. "

Terbayang di kepala emaknya, nama Ken bakal diplesetin jadi -maaf- kent**. Duuuh ga tegaaaa.

Atau perdebatan ga jelas yang ini.
Mam : “Gimana kalo Bumi pap, ujungnya juga –i. Kayanya lucu juga.”
Pap : “Ga ah, mirip dengan siapa itu yang  sering diinfotainment, Uztad G***** Bumi.”
Mam : Gubraak… Kok bisa kepikiran sampe kesana yaaaa si papa

Diam sesaat. Hening melanda. Ide habis. Suram sudah nampaknya.

Pap : “Abhi kan namanya udah campur-campur tuh bahasa arab, jepang, sansekerta. Sachi juga udah nama jepang, arab, itali. Nah yang ini namanya Indonesia sekali aja. Jawa kuno ato sansekerta bagus juga.”
Mam : “Iya boleh aja, sansekerta juga bagus kok pa.”

Si mamah berbinar-binar, nampaknya si papa ada ide bagus.  Tumben banget.

Mam : “Terus siapa dong namanya Pa?”
Pap : “Gini ma, tau Balaputradewa kan. Itu kan Raja Sriwijaya kelahiran Jawa. Pas banget kan tuh BALAPUTRADEWA, mama dari Palembang, Papa dari Jawa.”

Mama bengong tak percaya, Ini serius atau ngeledek ga nampak lagi bedanya. Nampak putus asa.

Mam : “Hooh pa bagus banget, udah aja sekalian aja dinamain Ken Arok atau Tunggul Ametung.”

Papa ganti terpana. Nampak Speechless. Suram sudah dunia.

Daaan perdebatan ini sudah berlangsung selama 30 minggu saudara-saudara, seusia si adik bayi dalam kandunganku. Hasilnya sampai sekarang NIHIL. Sebuah nama indah memang mahal idenya. Semoga  nanti menjelang lahiran atau maksimal hingga tiba waktu aqiqahnya nanti, ide nama itu akan hadir. Maklumlah mama dan papanya ini tipikal deadliner sejati, yang ilhamnya tak kunjung hadir kecuali sudah mepet ^_^

Gapapa ya nak, lets enjoy our moment without a name. Simply to call u, ADEK BAYI.