Kamis, 4 Maret 2010
“Mah, abhi mau tidung disini aja ya.. abhi mau bobo cendiyi ma. Anak becang bobo cendiyi kan ma?” ujar abhi sambil mengukir senyum diwajahnya malam itu.
Aku tersenyum mendengar pintanya malam itu. Beberapa malam yang lalu dalam dongeng sebelum kami tidur, aku memang bercerita padanya mengenai Polly si anak beruang kecil yang tidur bersama mamanya. Ceritapun ditutup dengan pesan bahwa anak besar harus mandiri, termasuk tidur sendiri. Tak kuduga dalam waktu satu hari saja abhi sudah meminta untuk tidur sendiri, seperti Polly. Maklum saja, selama ini kami selalu tidur bersama, apalagi sejak papa sekolah jauh di Jepang, abhi-lah yang selalu menemaniku. Momen-momen sebelum tidur adalah momen yang selalu kami nantikan, momen mencurahkan kasih sayang. Kerap abhi tidur sambil merangkulku. Kadang, ketika ia tak kunjung bisa tidur, biasanya dia akan menghujani wajahku dengan ciumannya, menggelitik kakiku hingga menempelkan keningnya di keningku. Ketika aku berbalik punggung pun, dia terbiasa menyentuhkan kakinya dibadanku. Suatu sugesti yang menenangkan tidurnya mungkin, meyakinkan bahwa aku selalu ada disampingnya. Dan malam itu, kakak abhi tersenyum lebar seolah yakin dengan tekadnya untuk tidur sendiri.
“Kakak yakin mau tidur sendiri?”tanyaku tak percaya.
“Iya ma.. abhi dicini aja. Mama disana ya..”
Kuusap kepalanya.. lantas aku beranjak merapihkan tempat tidur kecil itu. Biasanya tempat tidur itu hanya menjadi tempat tumpukan bantal-bantal dan selimut. Kadangkala menjadi tempat tidur papa juga tatkala ranjang ini terasa sempit untuk kami bertiga. Ya, memang kasur kecil itu masih berada dalam satu kamar denganku, posisinya pun masih menempel diujung tempat tidurku. Namun posisi tempat tidurku yang lebih tinggi, membuat kasur itu seperti tenggelam. Aku tak lagi bisa menatap wajah abhi dari tempatku tidur, kecuali aku mengubah posisi tidur persis disampingnya. Tapi itu nanti menggugurkan niatnya yang ingin mandiri.
Ketika kakak mulai merebahkan diri dikasur itu, aku pun mulai merebahkan diri diranjang yang semula biasa kami tempati berdua. Aku mencoba menghitung dalam hati, berapa lama kakak bisa bertahan tidur sendiri disana. Dugaanku, dia akan bangun dari kasur itu dan pindah ke sampingku, dan seperti biasa menempel erat padaku hingga habis malam itu. Satu menit… lima menit… sepuluh menit.. Hei.. ternyata dugaanku salah. Kakak masih ada disana.. dikasur itu. Hening.. aku mencoba diam, menghargai tekadnya yang sedang berusaha untuk mandiri. Malam itu, berpuluh kali dia memanggilku. Entah hanya sekadar bertanya “Maa?” untuk sekadar mendengar suaraku, meyakinkannya bahwa aku masih ada didekatnya, atau ungkapan “Selamat tidur mama”, “Ma, abhi sayang mama” yang diucapkannya pelan sembari memeluk guling kecilnya, tanpa melihat padaku, tanpa bangun dari kasur itu.
Satu jam pun berlalu, kakak terlelap dalam tidurnya. Beberapa kali ia terlihat tampak gelisah dalam lelapnya, dari mulut kecilnya terucap “Maa..”. Kudekati ia, pelan kubisikkan ditelinganya “Ya Nak..” dan tidurnya pun kembali pulas. Ah malaikat kecilku, mama bangga padamu. Pelan kutarik selimutku, sungguh malam ini terasa asing tanpa abhi disampingku.
----
Malam keesokan harinya tatkala aku sedang merapihkan tempat tidurku, abhi mendekatiku dan berkata, “Ma.. abhi mau bobo disini lagi aja. Abhi anak becang mah”ujarnya bangga.
Entah mengapa terbersit keenganan dalam hati ini. Namun melihat tekadnya, melihat senyum diwajahnya, tak kuasa aku menolaknya. Kutatap ia dalam-dalam, dan tak lama aku beranjak mengambil sesuatu.
“Ya boleh. Mama bangga deh sama kakak. Jadi, mama punya hadiah buat anak besar mama”aku pun mengeluarkan seprei baru berwarna biru pemberian teman, bergambar anjing-anjing kecil yang lucu-lucu.
“Ini khusus buat anak mama yang sudah besar”ujarku sambil memasangkan seprei, sarung bantal dan guling di tempat tidur kakak.
“Wowwww aciiik acikkkk…”ujarnya sambil melompat-lompat di kasur itu, kasur kakak yang sekarang tampak manis dengan seprei gogoknya.
Tak lama tempat tidur sudah rapih. Kakak bersiap merebahkan diri disana. Kami berdoa bersama, dan kucium keningnya. Kakak berkata, “Selamat tidur mama, abhi cayang deh padamu.”
“Met tidur sayang, mimpi indah ya.”
“Ya mama, mama juga ya.. mimpi yang indah.”
Jarum dinding baru berpindah 5 menit dari angka 9, dan kakak sudah pulas. Malam itu tidurnya sangat nyenyak, tak satupun ia memanggilku seperti malam kemarin. Yap… tekadnya pasti sudah bulat sehingga ia mampu meyakinkan dirinya untuk bisa melewati malam itu sendiri.
----
Malam ini adalah malam ketiga kakak tidur sendiri. Sekarang menjelang tidur, kakak langsung mengambil posisi di kasur kecil itu, kasurnya. Tak lagi ia menoleh pada kasurku yang sekarang terasa begitu luas. Aku menemaninya berdoa, mencium keningnya dan langsung beranjak ke kasurku, membiarkannya tertidur sendiri. Hening sekali malam ini, kakak tampaknya sudah pulas dan larut dalam mimpi indahnya. Sementara aku.. ah.. sekali lagi perasaan yang sama menyinggahiku. Perasaan yang dulu pernah muncul ketika aku menyapih Abhi di usia 2 tahun 3 bulan, perasaan kehilangan. Jujur kuakui, sedih itu melandaku. Masih ingin rasanya aku tidur dirangkulnya, merasakan hangat dibalik tangan mungilnya, menatap wajahnya hingga kantuk menyerangku, menciumi wajahnya tanpa bosan, mengusapnya perlahan. Kedengarannya melankolis sekali memang. Well, tapi inilah yang kurasakan. Mungkin benar aku belum siap.Tapi kenyataannya.. anakku sudah besar. Ya.. kakak sudah besar, sudah bisa memutuskan sendiri keinginannya. Harusnya aku bangga, anakku sudah bisa memegang sebuah komitmen dengan dirinya sendiri. Ia tau pasti apa yang ia inginkan, dan menjalani semuanya dengan yakin.
Malam ini sms papa menyisakan bulir dipelupuk mataku, “Mama tersenyumlah.. anakmu sudah besar.”
Perlahan tapi pasti, senandung Nak milik bang Iwan menari-nari di telingaku..
Duduk sini Nak dekat pada Bapak..
Jangan kau ganggu Ibumu..
Turunlah lekas dari pangkuannya..
Engkau lelaki kelak sendiri..
Pelan kuhapus isakku. Ya.. anakku sudah besar. Kakak Abhi sudah besar.. Insya Allah, senyum akan menghiasi tidurku malam ini, janjiku dalam hati. Sabtu, 6 Maret 2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar