Catatan Lydia

Catatan Lydia
Blog ini didedikasikan untuk anak-anakku tercinta, Abhi Sachi dan Samy yang mewarnai hidupku dengan kebahagiaan. Tulisan-tulisan di blog ini menjadi saksi, betapa berartinya kalian untuk mama. Kelak ketika kalian besar nanti, memori indah yang tertulis di blog ini akan selalu kita kenang bersama. I love U Nak..


Rabu, Maret 24, 2010

Sayang Mama

Semalam hujan turun begitu derasnya. Jam sudah menunjukkan pukul setengah tujuh malam. Seperti biasa mama kehujanan sampai di rumah walaupun sudah bersenjatakan jaket dan payung lengkap. Brr.. dingin.. enaknya langsung ganti baju, shalat, bersih-bersih biar anget sedikit. Tak lama.. beres deh semua, hmm terus ngapain ya.. Wah ternyata kakak makan malamnya belum habis. Sambil menyuapi kakak abhi makan, mama memperhatikan sudut-sudut kamar. Ah.. ternyata bocor lagi. Ember-ember mulai dipasang, menampung bocornya hujan yang rembes ke kamar. Sesekali percikan air hujan pada sisi ember turut mengenai sudut tempat tidur kami. Duuh dingin begini enaknya masuk dalam selimut deh sambil peluk kakak, pasti anget :D

Setengah jam kemudian hujan berhenti. Mama sudah selesai menyuapi kakak makan. Saatnya membereskan ember-ember dan sisa rembesan hujan yang membasahi lantai kamar. Tapi kok males ya. Mama melangkah enggan, mengambil kain pel dengan gontai. Ember-ember ditumpuk dan mulailah kain pel bergerak kesana kemari menyapu semua titik air di lantai. Tampak kakak abhi memperhatikan mama dari depan pintu kamar.

“Kakak jangan kesini dulu ya nak, mama sedang ngepel. Lantainya licin, nanti kakak jatuh.”
“Iya mama, mama ati-ati ya nanti jatuh,” ujarnya sambil memegangi balon spongebobnya dengan riang.

Kosrek.. kosrek… kain pel mulai menjalankan lagi tugasnya membersihkan semua sudut lantai yang terkena rembesan air hujan. Tiba-tiba…

“Haduuuuuuuhhh…,”jeritku menahan sakit sambil meringis memegangi jemari kiri. Rupanya lantai yang cukup licin membuat jemariku menelusuk masuk ke kolong meja yang terbuat dari kayu. Membuat jemari ini beradu dengan sebagian pinggiran kayu yang sudah tidak rata. Menyisakan robekan kecil di jari tengah tangan kiriku. Tampak tetesan darah mulai merembes dari luka itu. Sambil meringis, kucoba memencet lukanya agar darah dan sisa-sisa kayu yang mungkin ada dapat keluar. Ternyata kakak yang sedari tadi memperhatikanku dari ujung pintu, refleks mendekat.

“Mama kenapa ma.. mama tidak apa-apa? cakit ma? cini abhi bantu ma,”tersirat cemas di wajahnya.
“Tidak apa-apa kak, mama luka sedikit.. tapi masih sakit. Tolong ambilkan tisu kak, lihat ini ada darahnya. Mau mama bersihkan.”

Tanpa komentar langsung kakak berlari kecil menuju kotak tisu di pinggir tempat tidurku.

“Ini ma.. Abhi bantu ya ma,”ujarnya menyerahkan selembar tisu kepadaku sembari mencoba meniup-niup lukaku yang tertutupi sedikit darah.

Kuambil tisu itu, segera kuseka darah di jemariku. Huhuhu.. nyeri sekali rasanya. Sambil menahan nyeri aku sibuk memperhatikan lukaku dengan seksama, meyakinkan tak ada sisa kayu yang masih tertancap disana. Aku tak memperhatikan kakak yang ternyata sudah tidak berdiri disampingku. Dimana ya dia tadi. Oh rupanya disana. Kakak tengah berdiri tepat di depan kotak obat di sebuah meja di samping lemari kamar kami.

“Ma, macih cakit ya ma… aduuuh kita kacih obat apa ya ma. Mama tahan ya ma.. obatnya mana ya,” wajahnya tampak panik, matanya tertuju pada kotak obat tanpa menoleh padaku dan mulailah jemari kecilnya membuka satu per satu laci kotak obat tanpa tahu harus mengambil obat yang mana untuk mamanya. Begitu terus berulang-ulang, laci dibuka dan ditutup lalu lanjut ke laci atasnya, mengambil beberapa obat dan meletakkannya kembali.

Aku tersenyum. Ah kakakku yang baik. Rasanya nyeri di tanganku sudah tidak ada menyisakan perih sama sekali melihat perhatiannya.

“Itu aja kak, yang botolnya kuning kecil itu kak,”ujarku sembari menunjukkan satu botol kecil tepat di kotak teratas. Kakak melihat ke arah jemariku menunjuk, dan happp… tangan mungilnya segera mengambil botol kecil betadine yang kumaksud.

“Ini ma.. tahan ya ma.. cini abhi bantu ya mama.” Tangan mungilnya membuka tutup betadine dan mulai mencoba meneteskannya ke lukaku. Aku membantunya memegangi botol itu agar tidak tumpah dan mengotori lantai. Tak lama..

“cudah ma. Macih cakit ya ma?” pelan dia meniup-niup lukaku, mengusap jemariku sambil sesekali menatapku iba.

Kuraih kepalanya, kuusap-usap rambutnya dengan sayang.

“Sudah tidak sakit, nanti juga kering lukanya. Terima kasih ya kakak. Kakak mau bantu mama, mama senang deh,” senyumku padanya.

“Hmm.. mungkin sepewtinya kita hawus pakai pleteng ma. Cupaya tidak cakit lagi, nanti pasti cembuh deh ma” ujarnya sambil berbalik dan mengambil plester di salah satu laci di kotak obat. Dibukanya plester itu dan dicobanya mengenakan padaku.

“Haduh sakit kak,”jeritku tatkala tangannya menyentuh lukaku, membuat plester itu terpasang tidak sempurna dan menyisakan nyeri di jemariku. Kubantu ia memasangkan kembali plester di tanganku.

“Na… sudah ma. Mama cepat sembuh ya ma,”senyumnya mengembang sambil tangan mungilnya mengusap-usap jemariku. Aku tersenyum menatapnya.

Ah kakakku, taukah kamu nak, malam ini bahagia sekali mama diperhatikan sebegitunya oleh anak mama ini. Seolah kini akulah yang kanak-kanak, menikmati setiap detik caramu memperhatikan, merawat dan menjaga mama. Luka kecil ini tidaklah seberapa, namun sampai begitu mengkhawatirkan dirimu.

Makasih ya kakak, mama bangga deh sama anak besar mama yang perhatian dan sayang sekali sama mamanya ini. Mama percaya kakak pasti jadi seorang kakak yang baik buat adik-adikmu nanti, melindungi dan menjaga mereka dengan sayang. Dan semoga nanti kalau mama dan papa sudah tua, kakak tetap selalu perhatian dan sayang sama kami ya kak. Love u Abhi…

Selasa, 23 Maret 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar