Melanjutkan cerita menyapih Sachi di note sebelumnya, ternyata menyapih kali ini lebih cepat dari dugaanku. Dua tahun satu bulan saja. Ada dua kejadian yang menjadi ujian kami berdua, Mama dan Sachi dalam periode penyapihan ini. Bermula di minggu ketiga selepas ulang tahunnya yang kedua, Sachi kena diare. Badannya panas diiringi dengan buang air besar, cenderung cair, terkadang disertai ampas dan terkadang pula tidak. Untungnya asupan cairan Sachi tetap baik, karena Sachi memang suka sekali minum, alhamdulillah. Namun seperti umumnya anak-anak ketika demam adalah menempel ke pelukan ibunya. Dan untuk Sachi disertai keinginan untuk menyusu kembali. Hmm karena kembali ke prinsip semula bahwa menyapih dengan cinta tidak boleh dilakukan dalam kondisi anak tidak siap maka selama sakit itu Sachi kembali menyusu seperti biasa. Gagal sudah proses menyapih tahap I, hehehehe…
Semula aku menduga harus kembali dari awal lagi dalam proses menyapih selanjutnya. Selepas sakit, frekuensi menyusui sedikit demi sedikit kembali aku kurangi. Yang aku lakukan adalah mengulangi persuasi bahwa selepas 2 tahun Sachi sudah mengenal susu lain selain ASI, seperti kakak Abhi. Yang kedua, tidak langsung memberikan setiap kali ia meminta, namun mencoba menawarkan dahulu susu UHT atau air putih untuknya. Bila tidak berhasil, ASI tetap kuberikan. Langkah ini berhasil mengembalikan frekuensi menyusui menjadi sebelum sakit, sekitar 2 kali dalam satu hari. So far so good.
Nahh.. selanjutnya datang ujian tak diduga yang tidak bisa aku hindari. I got bleeding. Yups, alhamdulillah ternyata Allah berkenan menitipkan kembali karunianya berupa janin di rahimku untuk ketiga kalinya. Usia janinku saat itu baru menginjak 7-8 minggu dan saat itulah bleeding terjadi. Kejadiannya aku hanya bisa menebak nebak apa yang membuat bleeding terjadi, karena hari itu aku tidak merasa terlalu lelah dan aku yakin pula bukan karena menyusui Sachi karena hari itu Sachi belum menyusu sama sekali padaku.
Seminggu terakhir memang aku harus ikut training di gegerkalong yang memakan waktu perjalanan 2 jam, lebih lama dari biasanya. Karena seminggu itu papa dinas dan tidak bisa mengantarkan aku ke kantor, maka aku memutuskan untuk naik angkutan kota saja. Dibanding membawa mobil sendiri di saat aku tengah mabuk darat dan kerap mengantuk selama hamil ini, maka naik angkot menjadi pilihanku. Pas di hari terakhir aku training, pagi itu aku naik angkot. Setengah perjalanan lancar saja. Menjelang sampai, angkot sudah agak kosong sehingga sopirnya kebut-kebutan. Pas di saat itu angkot melewati jalanan yang kurang bagus, berlubang-lubang. Saat angkot nge-rem mendadak untuk menghindari salah satu lubang itulah aku terloncat dari posisiku, cukup tinggi hingga terhempas kembali ke bangku yang terasa keras. Seingatku hanya itu saja kejadian membahayakan hari itu, selebihnya tidak ada. Dan malam harinya bleeding terjadi. Tidak hanya berupa flek spot saja namun sudah berupa darah segar yang mengalir. Sereeemmm, membuatku cemas, tak bisa tidur dan sangat khawatir malam itu. Keesokan harinya setelah berkunjung ke dokter kandungan terdekat, malah bertambah khawatir. Dokter bilang, ini belum bisa dipastikan. tapi nampaknya sudah terjadi abortus spontan, diduga kantung rahim sempat terlepas dari pembuluh-pembuluh darah yang menempel di dalam perutku. Sepertinya dokter terlihat cukup pesimis. Sedih. Tapi aku memutuskan untuk mencoba bedrest total selama satu minggu. Barangkali Dia berkenan mempertahankan adik bayi di rahimku. Dan saat itulah aku merasa dipaksa harus menyapih Sachi. Aku harus menyapih walau setengah hati. Hiks…
Saat itu kondisi mentalku kurang bagus. Di satu sisi mengkhawatirkan kondisi janinku, apakah dia masih disana. Di sisi lain aku tidak siap harus menyapih Sachi dengan paksa, mengubur impianku untuk menyapihnya dengan cinta. Mempertimbangkan segalanya, mau tak mau aku harus mengutamakan janinku. Dibantu papa, kami berdua menjelaskan kondisi kehamilanku pada Abhi dan Sachi, termasuk kenapa Sachi harus berhenti menyusui. Abhi antusias. Sachi diam. Menatapku, menatap perutku, dan aku sedih sekali menatap matanya.
“Mama, sakit? Adik bayi sakit, adik bayi mimi susu?”
“Iya, maaf ya Sachi. Mama tidak bisa menyusui Sachi lagi. Sachi minum susu kotak ya seperti kakak Abhi.”
Ia pun mengangguk. Ah Nak, maafkan mama.
Siang hari karena sibuk bermain dengan kakaknya, Sachi sepertinya lupa akan keinginannya menyusu padaku. Namun pada malam hari, tetap ia terbangun tengah malam. Duduk di kasur, dan menangis sendiri. Biasanya ia menangis sambil berkata setengah terpejam, ”nenen.. nenen ma.” Namun sejak saat itu tidak lagi. Ia hanya duduk lalu memandangku. Atau kadang pula kutemukan ia menangis tanpa suara. Masih dalam posisi tidur, ia sesegukan dengan air mata di sudut matanya. Hatiku sedih sekali saat itu, aku merasa tak siap. Kurangkul ia dalam pelukku, kutawari air putih dan Sachi mengangguk pelan. Dalam hatiku, seandainya pun Sachi menolak air putih dan kembali meminta ASI, aku tak akan menolaknya Nak. Namun nyatanya ia tidak meminta itu. Tak pernah lagi.
Dalam kondisi ini peran papa sangat membantuku. Kerap papa membantu menawarkan air putih pada Sachi, dan membantu menggendongnya ketika ia kesulitan kembali tidur. Tetapi yang mengagumkan dan di luar dugaanku adalah kedewasaan Sachi sendiri. Ia tidak pernah meminta ASI lagi padaku dan tidak juga menolak tawaran air putih atau susu seperti awal-awal ia disapih. Terbangun, menangis dan menatapku pun hanya ada di dua malam selepas bleeding. Selanjutnya setiap kali ia terbangun Sachi akan langsung duduk dan bergumam memanggil papanya, tidak memanggilku seperti yang ia lakukan 2 tahun terakhir. Ia paham hanya dengan sekali penjelasan kami mengenai kondisiku. Luar biasa. Aku merasa inilah buah persuasi yang aku lakukan beberapa bulan terakhir. Efek nyatanya terlihat sekarang. Ketika ia siap menyapih dirinya sendiri.
Kini, satu minggu pasca bleeding Sachi sudah berhasil menyapih dirinya sendiri dengan sempurna. Ya, di luar dugaanku yang semula mengira harus menyapihnya paksa, ternyata tak perlu. Kali inipun aku berhasil menyapih dengan cinta. Dan keberhasilan ini karena kesiapan Sachi lebih dini dari yang aku duga.
Hanya ada satu kejadian yang membuatku merasa bahwa sesungguhnya jikalau ada yang tidak siap dengan penyapihan ini, maka itu bukan Sachi tapi aku. Iya aku. Tengah malam itu aku terbangun. Aneh padahal aku tidak mendengar ada tangisan atau kegelisahan anak-anakku. Dan saat itu aku menemukan Sachi tengah duduk dikasur, memandangku. Sesekali tangannya mengusap-usap nenen. Kemudian terdengar suaranya pelan, “dadah nenen sachi.. dadah ya nenen.” Saat itulah runtuh pertahananku, air mata meleleh dipipiku sementara Sachi malah menatapku bingung. Ya, aku menyapih dengan cinta, walau setengah hati karena ketidaksiapanku.
Malam itu kami tidur berpelukan. Kuusap punggungnya dan kening kami beradu. Ia menciumiku, aku menciuminya. Sejak malam itu pula kami berdua punya lagu kebangsaan baru menjelang tidur. Lagu yang hingga kini kudendangkan di telinganya setiap malam.
Dadah nenen… dadah nenen Sachi
Dadah nenen… Sachi ga nenen lagi
Dadah nenen… dadah nenen Sachi
Dadah nenen… Sachi sayang nenen
Dadah nenen.. dadah nenen Sachi
Dadah nenen.. Sachi sayang bayi
Dadah nenen.. Sachi sayang mama
Dadah nenen.. Mama sayang Sachi
Mulai dengan baik, akhirilah dengan baik. Tidak ada yang sia-sia selama kita berusaha.