Catatan Lydia

Catatan Lydia
Blog ini didedikasikan untuk anak-anakku tercinta, Abhi Sachi dan Samy yang mewarnai hidupku dengan kebahagiaan. Tulisan-tulisan di blog ini menjadi saksi, betapa berartinya kalian untuk mama. Kelak ketika kalian besar nanti, memori indah yang tertulis di blog ini akan selalu kita kenang bersama. I love U Nak..


Kamis, Desember 03, 2009

Pembelajaran dari si ikan patin

Pagi masih menunjukkan pukul 5.20 menit. Abhi belum bangun, masih pulas di dalam selimutnya. Cek kulkas.. oh no.. pagi itu kebetulan bahan masakan di kulkas semua sudah habis, jadi aku tergesa-gesa ke warung di dekat rumah untuk belanja ala kadarnya. Ikan patin, udang peci, daun kemangi, tempe, bumbu dapur, daun bawang, tomat dan asem jawa. Mmm cukuplah buat menu abhi hari ini, aku berencana membuat pindang patin ala palembang dan tempe goreng saja. Udangnya dibuat peyek untuk besok pagi aja deh. Sesampainya di rumah ternyata abhi sudah bangun. Senyumnya riang menyambutku. 

“Mamaaa… mama dawi wawung ya, bewi apa ma” katanya. “Beli ikan buat kakak makan hari ini” ujarku. “Mana ma ikannya..” katanya sambil celingak celinguk mengintip kantong belanjaanku. “Niih.. gede ya kak.” Ikan dibawa ke dapur. Aku mendahulukan memotong-motong tempe, tentu saja karena gampang dan cepat. Tinggal direndam air garam dan bawang putih terus goreng, beres deh. Hihihi maklum ibu jaman sekarang, yang praktis-praktis ajalah buatnya, kalo ribet dikit mesti ngintip buku menu dulu :D Sekarang giliran si ikan nih dieksekusi. Sesudah dicuci, si ikan tak bawa sambil duduk disamping abhi yang lagi nonton spongebob. Tanganku sibuk memotong-motong si ikan, dibersihin kotoran perutnya, dipotong siripnya, dst.. dst.. Begitu asiknya aku mengutak-atik si ikan sampai tanpa aku sadari si abhi ternyata memperhatikan aku sedari tadi. 

“Maa…” panggilnya pelan. “Ya.. napa bie.. bobobnya bagus ya..”kutatap matanya. “Ma, itu ikannya sakit ga mah.. dipotong-potong sama mama.”tanyanya polos menatap si ikan dengan iba. Well, aku cukup terhenyak mendengar pertanyaannya. Tangan ini otomatis berhenti menyiksa si ikan yang sedari tadi ada ditanganku. Pertanyaan abhi mungkin sederhana sekali, tapi membuatku berfikir juga. Jujur saja, sempat pula aku merasa cukup kejam karena sudah ‘mengolah’ si ikan ini. Hihihi. Namun pertanyaan abhi selanjutnya lantas menyadarkanku dari kebingungan. 

“Maaa…”tegurnya. “Eh iya nak.., maaf ya. Tidak ikannya tidak sakit kok. Ikannya kan sudah mati.” “Itu ada dawahnya (darahnya) banyak ma.. abhi kasian ma.”ujarnya sambil meringis-ringis. “Ga apa-apa kok kak, ini ikannya sudah mati.. tuh kepalanya aja udah ga ada kan. Jadi ikannya ga merasa sakit lagi mama potong. Ikannya udah masuk surga kak, karena pahalanya banyak. Karena dengan daging ikan, manusia jadi bisa makan bergizi..”senyumku mencoba menghilangkan ketakutannya. 

“Oo yaya ma..” abhi tersenyum-senyum sambil sesekali meringis melihat si ikan. Sejujurnya aku juga sama seperti abhi.. tidak tega mengolah atau memakan si ikan atau hewan lainnya, terutama yang masih ada kepalanya. Alasanku ya simple, ndak tega melihat matanya si hewan. Berasa diliatin kali ya pas mpretelin badannya hihihi. That’s why aku selalu membeli ayam dan ikan tentunya, dengan satu request ke penjualnya, “Bang, tolong kepalanya dibuang aja.” Hihihi. Untung saja abhi melahap pindang patin sebagai sarapan tanpa masalah. Lega juga aku, untunglah dia tidak jadi anti makan ikan. 

Hmm story lesson hari ini setidaknya sangat berharga buatku. Bahwa anakku sudah mengerti artinya sakit, sedih, senang, bahagia dan marah. Bahwa anak adalah pemerhati dan peniru orang tua yang ulung. Bahwa sebagai orang tua, aku harus mampu mengajarkannya intisari kehidupan yang menjadi bekalnya menjalani kehidupan. Di usia abhi ini, adalah masa emas pertumbuhan fisik dan emosinya, yang tentu saja merupakan kesempatan bagiku untuk menanamkan banyak hal kebaikan padanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar